Rabu, 01 Desember 2010

Masa Depan Filsafat Islam

Prinsip Keharmonisan

Salah satu bentuk pengaruh wahyu pada tradisi keilmuan Islam adalah keterpaduan yang kokoh di antara tradisi-tradisi keilmuan. Kesalingterkaitan ilmu-ilmu itu ibarat sebuah pohon. Wahyu Al-Quran dan Hadis adalah seperti akar dan batang dari pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya dan sains, insitusi-institusi sosial adalah seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun, kesemuanya merupakan bagian-bagian dari sebuah organisme yang tumbuh dari akar.

Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh obyek kajian berbagai ilmu itu sebagai ayat-ayat Tuhan. Pandangan integral-holistik inilah yang mendorong para sarjana Muslim untuk menelaah berbagai tradisi keilmuan.

Seorang sarjana Muslim klasik dapat mereguk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibn Sina (w. 1037) misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun juga sekaligus seorang filsuf, hafidz Quran, dan sufi. Jabir ibn Hayyan (w. 815) yang dikenal sebagai Bapak Kimia yang mendirikan laboratorium kimia pertama di dunia adalah juga seorang astronom, matematikawan, kosmolog dan sufi. Al-Biruni yang dikenal fisikawan dan Bapak Eksperimentalis yang pertama kali menghitung keliling bumi dan mengukur massa jenis bebeberap logam adalah juga seorang matematikawan, astronom, epistemolog, sosiolog, dan penulis perbandingan agama yang banyak dipuji karena obyektivitasnya.11

Oleh karena itu, telah menjadi tradisi di kalangan sarjana Muslim untuk mengadakan klasifikasi ilmu-ilmu. Klasifikasi Islam atas ilmu-ilmu didasarkan pada hierarki dan kesalinghubungan antar-berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi ketunggalan dalam kemajemukan. Menurut Nasr, ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antarberbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filsuf, dari sufi hingga sejarawan, sehingga banyak di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu (Bakar, 1992).12

Adanya klasifikasi ilmu itu selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan yang integral-holistik para sarjana Muslim, juga menjaga keharmonisan, proporsionalitas dan keseimbangan ilmu-ilmu. Klasifikasi ilmu ini merupakan kunci pemahaman terhadap dimensi utama tradisi intelektual Islam. Seperti juga sebuah cabang tak terus tumbuh tanpa hingga, begitu pula suatu disiplin ilmu tidak selayaknya dipelajari sedemikian rupa sehingga mengabaikan disiplin ilmu yang lain. Menurut Nasr (Nasr, 1968), cendekiawan Muslim abad pertengahan menganggap menuntut suatu cabang ilmu melampaui batasnya . dengan demikian merusak harmoni dan proporsi segala sesuatunya . sebagai suatu hal yang tak berguna, malah dapat dikatakan satu tindakan melanggar aturan, seperti halnya jika sebuah cabang kayu tumbuh terus tidak terbatas, akhirnya akan merusak keharmonisan pohon itu sebagai suatu keseluruhan.

Menurut Nasr, subyek klasifikasi dan integrasi ilmu ini pun merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer melepaskan diri dari kekacauan dan kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan buta terhadap model-model Barat yang sering kali terbaur secara ad hoc dengan model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah (Ashraf, 1989).
Tradisi klasifikasi ilmu inilah yang sekarang hilang pada sarjana modern, di Barat atau pun di Timur dan Islam. Ketiadaan klasifikasi ilmu inilah yang menciptakan terjadinya fragmented knowledge dan ketidakseimbangan ilmu-ilmu. Adanya fragmented knowledge pun pada gilirannya melahirkan pandangan-dunia (world-view) yang terpecah, fragmented personality dan fragmented society. Ketidakseimbangan ilmu-ilmu melahirkan praktek penganak-emasan beberapa disiplin ilmu, dan sebaliknya, penganak-tirian disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Beberapa studi seperti sains empiris dan teknologi diprioritaskan, namun studi ilmu-ilmu kemanusiaan seperti etika, filsafat, agama dikebelakangkan. Akibatnya, sains dan teknologi bukan untuk mencerahkan dan mensejahterakan umat manusia secara keseluruhan, tetapi seringkali digunakan untuk menggertak, mengancam, membunuh, membuat bom atom dan membumihanguskan suatu wilayah yang dianggap musuh.13 Lebih jauh dari itu, bahkan, alam kosmos beserta isinya pun siap diluluhlantakkan oleh hasrat megalomania kekuasaan dengan senjata-senjata pemusnah massal.
Dengan demikian, sikap yang nampak .konservatif. atau .tidak progresif. pada astronom Muslim yang enggan melakukan revolusi sistem astronomi dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis dari pandangan dunia integrasi-holistik mereka. Mereka tidak bersedia mengorbankan sistem umum integrasi pohon ilmu-ilmu secara keseluruhan dengan membesarkan sebuah cabang ilmu secara tidak seimbang dan harmonis.
Hal ini mungkin dapat kita analogikan dengan ketidaksediaan sarjana Muslim mengembangkan teknologi mesiu untuk persenjataan meskipun secara teknis-ilmiah telah dapat mereka lakukan. Mereka mempunyai pertimbangan bahwa jika teknologi itu jatuh kepada manusia yang tidak tepat (jahat, tidak bertanggung jawab), maka teknologi itu justru akan membawa malapetaka bagi umat manusia. Mungkin inilah salah satu perbedaan sarjana Muslim klasik dengan sarjana Barat atau sarjana modern pada umumnya.
Lalu, di mana letak keburukan atau ketidakseimbangan yang terjadi pada interpretasi astronom modern, khususnya Copernicus dan kawankawan, yang mencetuskan sistem heliosentris? Sejauh manakah dampak sistem heliosentris itu pada peradaban modern? Mengapa astronom Muslim lebih mengedepankan keutuhan pohon ilmu sehingga tidak bersedia memproklamirkan sistem heliosentris?
Dijelaskan bahwa sikap mereka yang tampak .konservatif. itu terkait dengan cara pandang keilmuan mereka yang sangat menekankan pada prinsip keharmonisan. Mereka memandang berbagai disiplin ilmu saling terkait dan tersalinghubungkan secara organis bagaikan sebuah pohon.

Sebagaimana pohon yang indah dan baik adalah pohon yang tumbuh secara seimbang dan harmonis (tidak ada salah satu cabangnya yang menjulang tinggi sedang cabang lainnya tidak tumbuh atau batangnya malah sekarat), demikian pula pohon ilmu yang baik dan indah adalah terjaganya keutuhan, keseimbangan, dan keharmonisan berbagai cabang ilmu.
Lalu, pertimbangan apa yang dilakukan oleh sarjana Muslim itu? Faktor apa yang membuat mereka berpandangan bahwa perubahan dalam sistem astronomi adalah merusak keharmonisan sistem/klasifikasi ilmu-ilmu secara keseluruhan? Sejauh manakah peran sistem astronomi dalam bangunan ilmu pengetahuan suatu peradaban?
Astronomi sebagai Filsafat Alam
Telah menjadi khas suatu peradaban, kata Seyyed Hossein Nasr (Nasr, 1964), untuk memiliki sistem astronomi dan kosmologi sendiri. Ciri suatu peradaban kerapkali ditentukan oleh sistem astronominya. Astronomi sangat dekat dengan kosmologi, yaitu suatu filsafat alam. Astronomi merupakan komponen utama suatu kosmologi. Sedangkan kosmologi terkait erat juga dengan epistemologi. Menurut Nasr, pandangan sekularisasi terhadap kosmos berhubungan dengan sekularisasi terhadap pengetahuan (Nasr, 1989). Oleh karena itu, suatu sistem astronomi berhubungan erat dengan gagasan-gagasan metafisika, filsafat, dan agama di mana sistem astronomi itu dibangun. Dengan kata lain, filsafat dan agama adalah konteks kebudayaan dan peradaban yang tak terpisahkan dari sistem astronomi yang lahir dan tumbuh dari peradaban tersebut.

Kenyataan bahwa sistem astronomi terkait erat dengan suatu peradaban diakui oleh para sarjana dan cendekiwan umumnya. Kita telah menguraikan di muka bahwa kelahiran sistem heliosentris yang dicetuskan oleh Copernicus dan didukung oleh sarjana-sarjana seperti Descartes, Kepler, Galileo dan Newton merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist) ketika itu yang hendak memberontak terhadap sistem astronomi yang teologis-metafisis. Mereka melakukan gerakan pemisahan total dari nilai-nilai agama dan memandang alam hanya sebagai kumpulan materi materi yang mekanis, mati dan kuantitatif. Oleh karena itu, muncullah sekulerisme yang telah menjadi tuntutan alamiah manusia modern sebagai akibat dari pandangan dunia mereka yang mekanis dan atomistik terhadap alam, termasuk alam langit.

Jadi, sistem heliosentris selain representasi zeitgest zaman, juga sekaligus pembentuk semangat dan cara pandang manusia modern umumnya terhadap alam dan realitas. Itulah sebabnya mengapa Y.B. Mangunwijaya, misalnya, menyebutkan bahwa Revolusi Kopernikan (heliosentris) sebagai salah satu titik balik dalam sejarah peradaban manusia (Mangunwijaya, 1987). Lebih tepatnya lagi, dapat kita katakan bahwa revolusi heliosentris itu sebagai perubahan pandangan dunia dari pandangan dunia yang metafisis-simbolik-kualitatif-holistik menjadi pandangan dunia yang mekanis-empiris-kuantitatif-atomistik.
Nah, demikian pula tentunya, sarjana Muslim juga menganut pandangan dunia tertentu yang mengarahkan kegiatan-kegiatan ilmiah mereka. Menurut Nasr, konsepsi alam kosmos, termasuk dunia langit, bagi sarjana Muslim terkait erat dengan pewahyuan dan hirarki pengetahuan dalam skema filsafat Islam (Nasr, 1964). Langit menjadi sebuah simbol pengetahuan dan kehadiran Tuhan. Bagi sarjana Muslim, kosmos adalah sistem hidup, kualitatif, simbolik sehingga harus dipahami secara holistik dan terintegrasi, tidak dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian sebagaimana sarjana Barat modern melakukannya.

Meski pun demikian, perlu dicatat bahwa sebagaimana yang kerapkali kita utarakan, cara pandang yang holistik, simbolik dan kualitatif ini tidak mengurangi ketajaman analisis dan metode ilmiah para sarjana Muslim. Hanya saja, mereka menjadi tampak .konservatif. atau terlalu berhati-hati untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran ilmiah.
Namun, hal ini, sekali lagi ditekankan, semata-mata terjadi karena mereka tidak hendak merusak tatanan pohon ilmu secara keseluruhan sebagai konsekuensi logis dari pandangan dunia yang holistik dan non-sekuleristik.
Nasr menyebutkan bahwa sikap para sarjana Muslim yang tidak memutuskan hubungan dengan sistem Ptolemeus sangat terkait erat dengan pandangan dunia abad pertengahan. Tak seorang pun dari mereka yang berkehendak melakukan untuk mengambil tindakan merombak pandangan dunia tradisional, seperti yang terjadi pada masa Renaisans di Barat.

Karena, perubahan itu tidak hanya revolusi dalam astronomi, tapi juga pergolakan di bidang agama, filsafat dan sosial. Dengan latar belakang itulah Nasr mengingatkan bahwa tidak seorang pun dapat menduga pengaruh revolusi astronomi terhadap pikiran manusia (Nasr, 1968). Oleh karena itu, para sarjana Muslim nampaknya sengaja .mengerem. kemajuan sains astronomi demi keutuhan dan keharmonisan pohon ilmu yang terkait erat dengan kosmologi dan filsafat Tauhid. Nasr (1968) menulis: .Selama tatanan pengetahuan tetap utuh dalam Islam, dan scientia (sains) tetap dalam naungan sapientia (kebijaksanaan), maka .pembatasan. (pengereman) tertentu dalam salah satu cabang sains dapat diterima guna menjaga kebebasan perkembangan dan realisasi dalam bidang spiritual. Dinding kosmos tetap dipertahankan guna menjaga makna simbolis, yang ditimbulkan oleh pandangan kosmos semacam itu pada kebanyakan umat manusia. Seakan-akan saintis dan para sarjana Muslim meramalkan bahwa merombak dinding itu juga akan merusak muatan simbolis dari kosmos dan malah menghapus makna .kosmos. (yang berarti tertib, teratur) untuk sebagian besar manusia, yang sukar memahami langit sebagai semacam bahan yang berpijar, memusar di angkasa dan sekaligus sebagai tahta Tuhan..
Dengan dasar pemikiran di muka, yaitu mempertimbangkan efekefeknya secara sosial, filosofis dan spiritual yang menurut sarjana Muslim lebih banyak membawa keburukan, maka mereka mengurungkan niat atau kehendaknya untuk merombak total sistem Ptolemeus, meski secara teknisilmiah telah mampu mereka lakukan. Nasr (1968) melanjutkan ulasannya:
Meskipun semua kemungkinan teknis (ilmiah) telah disadari (untuk membangun sistem astronomi baru non-Ptolemeus), namun langkah untuk mendobrak pandangan dunia tradisional tidaklah diambil, dan sarjana Muslim cukup puas dengan mengembangkan dan menyempurnakan sistem astronomi yang diwarisi dari Yunani, India dan Persia, yang kesemua tradisi ini telah diintegrasikan secara utuh dan penuh dalam pandangan dunia Islam (kosmologi dan epistemologi Tauhid)..
Sikap .konservatif. dan keberhati-hatian para sarjana Muslim ini tidak terjadi dalam sains astronomi saja. Dalam banyak cabang sains, sering terjadi bagaimana mereka mengurungkan hasrat progresivitas mengembangkan suatu cabang sains dengan pertimbangan untuk mempertahankan keharmonisan pohon dan sistem keilmuan yang mereka anut. Dalam sains fisika, misalnya, tokoh besar seperti al-Biruni dan Ibn al- Haitsam tidak akan mengorbankan prinsip-prinsip keharmonisan dan kebijaksanaan Islam demi kemajuan eksperimen-eksperimen fisika.

Menurut Nasr, meski pun para sarjana Muslim klasik begitu menekuni studi fisika dengan pendekatan kuantitatif-empiris, namun mereka tetap di dalam satu pandangan hidup .non-progresivisme., karena bagi mereka semua scientia (sains) ditundukbawahkan kepada Sapientia (Kebijaksanaan). Matriks pandangan hidup mereka tetap tidak berubah, meskipun sementara itu mereka terlibat penuh menuntut studi dunia fenomena yang selalu berubah.
Oleh karena itu, cara-pandang seorang al-Haitsam yang merintis ilmu optik yang hidup dalam spiritualitas atau epistemologi Islam akan berbeda dengan cara-pandang seorang ahli optik yang hidup di dunia modern-sekuleristik (Nasr, 1968).

Tidak ada komentar: