Rabu, 01 Desember 2010

Siapakah Ahlul Bait yang menjadi padanan al-Qur’an yang tidak pernah terpisah dari al-Qur’an?

Kedudukan sebagai padanan al-Qur’an, – “yang tidak pernah akan dimasuki kebatilan dari arah manapun, yang menjadi petunjuk bagi sekalian alam” – , adalah kedudukan yang amat tinggi.
Maka siapakah Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus salam) yang diwajibkan pada umat manusia untuk mengikutinya sepeninggal Nabi saw.?
Al-Qur’an menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS 4(AN-NISA’):59)
Mengenai siapakah Ulil ‘Amri, mari kita perhatikan sabda-sabda Nabi saw. berikut.
“Dari Abdul Malik, ‘aku mendengar Jabir bin Samurah berkata, ‘aku mendengar Nabi saw. berkata, akan ada dua belas pemimpin (amir), kemudian beliau berkata kalimat yang tidak kudengar, ayahku berkata bahwa beliau berkata, ‘semuanya dari Quraisy’’” [1]
“Aku penghulu para nabi dan ‘Ali adalah penghulu para washiy. Sesungguhnya washiy-washiyku setelahku ada dua belas. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali dan yang terakhir adalah al-Qaimal-Mahdi.”[2]
Dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, diriwayatkan ketika menjelaskan tentang QS 85 (AL-BURUJ):1
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang”,
Rasulullah saw. bersabda:
“Aku adalah langit. Dan adapun gugusan bintang, maka mereka adalah imam-imam dari Ahli Baitku dan Itrahku. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali dan yang terakhir adalah Al-Mahdi, dan mereka (berjumlah) dua belas” [3]
“Imam al-Baqir: Rasulullah saw. bersabda: diantara anak-anakku ada dua belas pionir (pemimpin) yang merupakan nujaba’, muhaddats, dan mufahham. Yang terakhir dari mereka adalah Qa’im yang benar yang akan menyebarkan keadilan di seluruh dunia setelah dunia dipenuhi penindasan.”[4]
“Jabir bin Yazid al-Ju’fi: Jabir bin ‘‘Abdullah al-Anshari: ketika Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan kepada Nabi saw. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah tahu Allah dan Rasulnya. Maka siapakah ulil amri yang taat kepadanya diletakkan di samping taat kepadamu?” Rasulullah saw. berkata: “Mereka penggantiku wahai Jabir, dan pemimpin (imam-imam Kaum) Muslimin setelahku. Yang pertama dari mereka adalah‘Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian‘Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin‘Ali yang dikenal dalam Taurat sebagai al-Baqir, Wahai Jabir! Kamu akan bertemu dengannya. Maka kapanpun kamu bertemu dengannya maka sampaikanlah salam dariku kepadanya. Kemudian ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin‘Ali, kemudian‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin‘Ali, kemudian yang bernama sama dengan aku, hujjah Allah di bumi dan yang tersisa dari hamba-hambaNya (baqiyyatuhu), adalah anak Hasan bin‘Ali. Dialah yang Allah bukakan timur dan barat untuknya. Yang akan disembunyikan (digaibkan) dari pengikutnya dan pecintanya dan pada waktu itu tidak ada orang yang tetap percaya Imamahnya kecuali orang-orang yang hatinya disucikan Allah untuk Iman.”[5]
Dari sabda-sabda tersebut jelas bahwa Ulil ‘Amri yang wajib ditaati sepeninggal Rasulullah saw. semuanya adalah keluarga Nabi saw., yakni Imam‘Ali bin Abi Thalib kw. Beserta 11 orang keturunan langsung Rasulullah saw. melalui Imam‘Alibin Abi Thalib kw. dan Sayyidah Fathimah binti Rasulillah as.. Nama-nama mereka telah disebutkan dengan jelas dalam Riwayat di atas sebagai berikut:
1. Ali bin Abi Thalib
2. Hasan
3. Husain
4. ‘Ali bin Husain
5. Muhammad bin‘Ali(al-Baqir)
6. Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq)
7. Musa bin Ja’far
8. ‘Ali bin Musa
9. Muhammad bin‘Ali
10. ‘Ali bin Muhammad
11. Hasan bin‘Ali
12. Muhammad bin Hasan
Sebagai tambahan referensi, bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Imam‘Ali as. dan para imam dari keturunannya yang maksum bisa pula dirujuk beberapa kitab di bawah ini:
1. Syawahidut Tanzil, karya Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, juz 1, hal. 148, hadis ke 202, 203 dan 204.
2. Tafsir Ar-Razi, juz 3, hal. 357.
3. Ihqaqul Haqq, karya At-Tustari, juz 3, hal. 424, cetakan pertama, Tehran.
4. Fara`idus Simthain juz 1 hal. 314, hadis ke 250.
Sungguh Dia adalah Maha Pengasih dan senantiasa mengasihi umat manusia dan semesta dengan Cahaya PetunjukNya. Ia telah memperjelas petunjukNya bagi umat manusia dengan jelasnya dan pastinya nama imam-imam manusia sepeninggal Nabi saw. Melewati lisan suci NabiNya yang terakhir saw. Maha Suci Ia yang tidak pernah mengosongkan bumi dan ummat manusia dari peunjuk dan CahayaNya, untuk menyempunakan NikmatNya bagi umat manusia dan semesta.
* * *
Referensi :
[1] Shahih Bukhari, Juz 8, pp. 127 ; Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2323 dengan redaksi yang mirip dan sanad yang berbeda, namun dari Jabir juga. Dalam Shahih Muslim, Beirut, Juz 6, pp. 3-4, ada enam hadits dengan makna yang sama namun redaksi sedikit berbeda; 5 diantaranya menggunakan kata khalifah sebagai ganti dari amir dan yang satu menggunakan kata rajulan. Disebutkan juga dalam al-Mustadrak al-Hakim, Beirut, pp. 217 dan 218.
[2] Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, juz 2, pp. 316; bisa dicek juga pada:
• Shahih Muslim, juz 2, pp. 191, Mesir
• Sunan Abu Daud, juz 2, pp. 207, Mesir
• Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5, pp. 106, Mesir
• Mustadrak al-Hakim, juz 2, pp. 618, Hiderabad
• Tafsir al-Wusul ‘ala Jami’ al-Usul, juz 2, pp. 34, Mesir
• Tarikh al-Baghdad, juz 14, pp. 353
[3] Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi, Yan?bi’ al-Mawaddah, juz 3, pp. 254;
[4] Al-Kaf i:1/534/18. Rujuk kepada Muhammadi Rayshahri, The Image of the Holy Prophet’s Household (ahl al-Bayt) In The Qur’an and Hadith, Dar al-Hadith, Qum, 2002, pp. 61
[5] QS 4(AN-NISA’):59
[6] Kamal al-din:253/3 : 1/282, Ta’wil al-Ayah al-Dzahirah:141; Diriwayatkan juga dalam Yanabi’ al-Mawaddah karya Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi, 1416 H, juz 3, pp. 398

Apakah cukup bagi ummat manusia al-Qur’an sepeninggal Nabi saw.?

Apakah sepeninggal Nabi saw. dan dengan berakhirnya nubuwwah (kenabian) dan risalah (kerasulan), adalah cukup bagi ummat manusia untuk bersandar pada teks-teks WahyuNya, yang sudah dijaminNya untuk dipeliharaNya dan tidak akan dimasuki kebatilan, agar mencapai keselamatan dan kesempurnaan alamiahnya (fithrah)? Bila tidak cukup, apa yang membuatnya menjadi cukup?
Jawaban terhadap pernyataan ini adalah negatif. Artinya tidak cukup bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaan dengan hanya bersandar pada teks-teks WahyuNya. Rasulullah saw. telah menunjukkan Jalan Keselamatan dan kesempurnaan yang tidak akan pernah sesat selama-lamanya. Rasulullah saw. bersabda:
“Hai manusia, aku tinggalkan apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan, selama kamu berpegang teguh padanya: Kitab Allah dan Itrahku, Ahlu Baitku [1].
“Aku tinggalkan padamu apa yang mencegah kamu dari kesesatan – setelah kepergianku – selama kamu berpegang teguh pada keduanya: Kitab Allah, tali penghubung yang terentak dari langit ke bumi, dan ‘itrahku Ahlu Baitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa denganku di al-Haud. Hati-hatilah dengan perlakuanmu atas keduanya, sepeninggalku nanti.” [2]
“Kutinggalkan padamu kedua penggantiku: Kitab Allah, tali penghubung yang terentang antara langit dan bumi, dan ‘itrahku, Ahlu Baitku. Keduanya takkan berpisah sehingga berjumpa denganku di al-Haud.”[3]
“Kutinggalkan padamu ats-Tsaqalain, Kitab Allah dan Ahlu Baitku. Sungguh keduanya tak akan berpisah, sampai bersama-sama mengunjungiku di al-Haud.”[4]
Hadits ini – dengan redaksi yang berbeda – diriwayatkan oleh lebih dari 200 kitab, diantaranya adalah:
1. Shahih Muslim juz 7, pp. 122; juz 2, pp. 237 dan 238
2. Al-Turmidzi juz 2, pp. 307 dan 220
3. Al-Nasai: Kasha’ish, pp.30
4. Musnad Ahmad bin hanbal juz 3, pp. 13 dan 17; juz 4 pp. 26 dan 59; juz 5, pp. 182 dan 189
5. Al-Mustadrak, juz II, pp. 148; juz III, pp. 109
6. Al-Munammaq, juz 9
7. Thabaqat al-Kubra, juz 1, pp. 194
8. Al-Mathalib al-’Aliyah, hadis no. 1873
9. Ihya al-Mayyit bifadhail ahlil Bait, juz XI dan XII, hadis no.6, 22, 23, 40, 43, 55, 56
10. Kanzul Ummal, juz I, pp. 44
11. Dan sebagainya.
Hadits-hadits shahih yang menetapkan kewajiban berpegang teguh pada ats-Tsaqalain (Kitab Allah dan kerabat Nabi termasuk dalam hadits yang mutawatir. Lebih dari 20 orang sahabat Nabi yang meriwayatkannya. Pada beberapa peristiwa yang berlainan, Rasulullah saw. telah menyampaikannya secara terbuka. Sekali di Ghadir Khum. Juga pada hari wukuf di ‘Arafah pada waktu haji wada’. Dan pada waktu beliau pulang dari Thaif. Sekali lagi dari atas mimbarnya di Madinah. Dan juga di kamar beliau yang mulia pada saat beliau sakit menjelang wafatnya. Ketika itu kamarnya penuh sesak dengan para sahabat. Beliau berkata : “Wahai manusia semua, kiranya telah dekat saatnya aku akan dibawa pergi dengan secepatnya, dan aku telah berpesan padamu sebelum ini demi melepaskan tanggung jawabku padamu. Ketahuilah, aku telah meninggalkan bagimu Kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlu Baitku.” Lalu beliau mengangkat tangan‘Ali sambil berkata: “Inilah‘Alibersama-sama al-Qur’an . Dan al-Qur’an pun bersama‘Ali. Tiada akan berpisah sampai keduanya menghadap aku di al-Haud.
Hal ini diakui oleh banyak sekali di antara tokoh-tokoh penting dari kalangan jumhur (Ahlus Sunnah), sehingga Ibnu Hajar – ketika meriwayatkan hadits Tsaqalain ini – berkata : “Ketahuilah bahwa hadits tentang kewajiban berpegang teguh pada keduanya (Kitab Allah dan Ahlul Bait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh lebih dari 20 orang sahabat.” Ia menambahkan : “Jalan riwayat hadits itu telah disebutkan secara terperinci pada bab kesebelas (dari kitabnya yang bernama as-Sawa’iq al-Muhriqah). Di antaranya disebutkan bahwa hadits itu diucapkan Rasulullah saw. di ‘Arafah pada waktu haji wada’. Dalam riwayat lain, Beliau mengucapkan ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang memenuhi kamar Beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa Beliau mengucapkannya di Ghadir Khumm. Ada juga riwayat menyebutkan ucapan Beliau itu saat Beliau pulang dari Thaif ketika Beliau berpidato di hadapan para sahabat, sebagaimana telah disebutkan tadi”. Ibnu Hajar melanjutkan : “Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat itu saling bertentangan, sebab mungkin saja Rasulullah saw. sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagai tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian Beliau terhadap al-Qur’an dan Ahlul Bait yang suci.” [5]
Dari penjelasan dalam hadits-hadits tersebut, untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaannya, ummat manusia tidak cukup hanya berpegang dengan KitabNya, namun juga dengan bimbingan, petunjuk dan kepemimpinan dari Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus-salam).
Diisyaratkan bahwa Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus-salam) tidak pernah berpisah dari al-Qur’an al-Karim. Jelas dengan berakhirnya nubuwwah, al-Qur’an al-Karim adalah wahyu terakhir. Ahlul bait Nabi (‘alaihimus salam) adalah bentuk nyata al-Qur’an dalam diri manusia, dan seperti halnya al-Qur’an, mereka juga memiliki sifat-sifat:
1. (tidak mungkin kebatilan datang kepadanya (QS 41 (FUSH-SHILAT):42. Dalam hal Ahlul Bait Nabi (‘alaihis salam), artinya mereka ma’shum.
2. (Dan Kami-lah yang menjaganya (QS 15(AL-HIJR):9). Sebagaimana Dia Yang Maha Hidup-lah yang langsung menjaga kesucian al-Qur’an, Ia pula yang menjaga kesucian dan kemuliaan Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus salam). Hal ini diperkuat dengan firmanNya.
“…SesungguhnyaAllah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS 33(AL-AHZAB):33)
3. …(Sebagai peringatan bagi seluruh alam (QS 25(AL-FURQAN):1)) Sebagaimana al-Qur’an adalah peringatan bagi seluruh semesta, maka Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus salam) adalah peringatanNya bagi seluruh manusia dan jin maupun sekalian alam. Banyak kisah-kisah menunjukkan bahwa jin maupun binatang buas pun merujuk dan meminta bimbingan kepada Ahlul Bait Nabi (‘alaihimus salam).
Hal ini ditegaskan juga dalam hadits Safinah:
“Permisalan Ahlul Baitku seperti perahu Nuh. Barangsiapa menaikinya akan selamat, dan barangsiapa meninggalkannya akan binasa.” [6]
Ada riwayat hadits dengan redaksi bahwa Rasulullah SAWW meninggalkan dua hal bagi ummatnya agar tidak tersesat yang berbeda yakni; 1)“Kitab Allah dan sunnahku, 2) Kitab Allah dan sunnah nabiNya
Menarik untuk dicermati bahwa hadits ini sama sekali tidak ada di kutub as sittah (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Abu Dawud). Hadits ini dijumpai dalam Al Muwatha Imam Malik dan Mustadrak Al Hakim.
Dalam Mustadrak al-Hakim dituliskan:
Berikut ini isnad dan matan Hadits tsb. [7]
Imam Al-Hakim meriwayatkan hadits tsb dalam Al-Mustadrak (I :93) dengan isnad dari Ibnu Abi Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas. Diantaranya dalam sanad hadits tsb terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya. Al-Hafizh Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamil (III : 127), mengenai biografi Ibn Abi Uwais – dan aku akan mengutip perkataan orang yang mencelanya, berkata Muawiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in, “Abu Uwais dan putranya itu (keduanya) dha’if (lemah).” Dan dari Yahya ibn Mu’in juga, Ibn Abi Uwais dan ayahnya (suka) mencuri hadits.” Dan dari Yahya juga, “Dia itu suka mengacaukan (hafalan) hadits (mukhallith) dan suka berbohong,”
Tetapi menurut Abu Hatim, Ibn Abi Uwas itu tempat kejujuran (mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah (dilengahkan / dibiarkan orang) (mughaffal). Imam Nasa’iy menilai dia dha’if (lemah). Dan masih menurut Imam Nasa’iy dalam kesempatan lain, dia tidak tsiqah. Menurut Abu Al-Qasim Al-Alka’iy, “Imam Nasa’iy sangat jelek menilainya sampai ke derajat matruk (Ibn Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”.
Menurut komentar Abu Ahmad bin Ady, “Ibn Abi Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (khal nya) (yaitu) Malik yaitu berupa beberapa hadits gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun (dari periwayat lain) (tidak ada mutaba’ah-nya).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al-Bary (hlm. 391 terbitan Dar Al-Ma’rifah) mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan, “atas dasar itu hadits dia -Ibn Abi Uwais-tidak dapat dipakai sebagai hujjah selain yang terdapat dalam As-shahih, karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’iy dan lain-lainnya …..”.
Al-Hafizh Sayyid Ahmad bin As-Shidiq dalam Fath Al-Mulk Al-Aly (hlm 15) mengatakan, “Berkata Salamah bin Syabib, “Aku pernah mendengar Isma’il bin Abi Uwais mengatakan, “Mungkin aku membuat hadits (adhu’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka.”
Jadi, dia-Ibn Abi Uwais – dituduh suka membuat hadits (maudhu’), dan Ibn Mu’in menilainya sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kata-kata wa sunnaty tidak terdapat dalam salah satu dari Shahihain.
Adapun mengenai ayahnya, Abu Hatim Ar-Razy mengatakan, sebagaimana disebutkan didalam kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V: 92), “Ditulis haditsnya, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat.”
Dalam sumber yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab Al-Jarh wa Ta’dil tsb, “Abu Uwais itu tidak tsiqah.”
Imam Al-Hakim telah mengakui ke dha’if-an hadits tsb, sehingga dia tidak menshahihkannya dalam Al-Mustadrak. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi penguat bagi hadits tsb, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh (saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tsb.
Kami telah membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh – sungguh, salah satu diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits. (Sehingga haditsnya disebut maudhu’, dibuat-buat).
Al-Hakim meriwayatkan (I : 93) hadits tsb, dia berkata, ” saya telah menemukan syahid atau saksi penguat bagi hadits tsb dari hadits Abi Hurairah”. Kemudian diriwayatkan dengan sanadnya melaui (jalan) Al-Dhaby: Telah menghaditskan kepada kami Shalih bin Musa At-Thalhy dari Abdul Aziz bi Rafi’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah – secara marfu’ (Rasulullah saw bersabda),
“Sesungguhnya aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah keduanya. Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya mendatangkan (mengembalikan) telaga (haudh) kepadaku”. [9]
Menurut saya (Sayyid Hasan) hadits tsb juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang dikomentari hanya satu orang yaitu Shaleh bin Musa Al-Thalhy. Berikut ini penilaian para imam pakar hadits dari kalangan Kibar Al-Huffazh (penghafal terkenal) yang mencela Shaleh bin Musa Al-Thalhy sebagaimana terdapat dalam kitab Tahdzib Al-Kamal (XIII : 96),”Berkata Yahya bin Mu’in, “Laisa bi-syai’in (riwayat [hadits] tsb bukan apa-apa).” Abu Hatim Ar-Razy berkata, “Dha’if Al-Hadits (Haditsnya dha’if).”
Dia sangat mengingkari hadits dan banyak kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah. Menurut penilaian Imam Nasa’iy, haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan yang lain Imam Nasa’iy berkata, “Dia itu matruk al-hadits (haditsnya matruk / ditinggalkan).”
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib (IV: 355) menyebutkan, “Ibn Hibban berkata bahwa Shaleh bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadits itsbat (yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tsb ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai untuk ber-hujjah.”
Abu Nu’aim berkata : “Dia itu matruk al-hadits, sering meriwayatkan hadits-hadits munkar.”
Al-Hafizh dalam At-Taqrib juga menghukuminya sebagai rawi matruk (yang harus ditinggalkan) (Tarjamah 2891). Demikian pula Al-Dzahaby dalam Kasyif (2412), yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah). Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan (II: 302), hadits riwayat Shaleh bin Musa tsb termasuk kemungkaran yang dilakukannya.
Imam Malik menyebut hadits tsb dalam Al-Muwaththa’ (I : 899 no. 3) tanpa sanad (jadi tidak ada asal-usulnya hadits itu – laa ashlu). Tetapi hal itu tidak ada artinya, karena mengenai kelemahannya telah jelas.
Al-Hafizh Ibn Abdilbar dalam At-Tahmid (XXIV : 331) menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits dha’if tsb, “Dan telah menghaditskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Muhammad ibn Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, “telah menghaditskan kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, “telah mengahaditskan kepada kami Al-Haniny dari Katsir bin ‘Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya (mengenai hadits tsb)”.
Sekarang kita akan memperbincangkan satu illat atau penyakit saja, yaitu Katsir bin ‘Abdullah yang terdapat dalam isnad hadits tsb. Menurut Imam Syafi’iy Rahimahullah Ta’ala – dia adalah salah satu punggung kebohongan. Sedang menurut Abu Dawud Rahimahullah Ta’ala, “dia adalah salah satu pembohong.”
Ibn Hibban berkata, “Dia meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (teks) yang maudhu’ (dibuat-buat) yang tidak halal atau tidak pantas untuk dicantumkan didalam berbagai kitab dan tidak perlu diriwayatkan kecuali untuk (sisi) ta’ajjub (aneh karena keberaniannya dalam berbohong -pen).
Menurut penilaian Imam Nasa’iy, dia matruk al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang). Imam Ahmad berkata, “dia itu pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa.” Demikian pula menurut peniliaan Yahya bin Mu’in, bahwa dia tidak (bukan) apa-apa, (tidak ada apa-apanya), (bukan orang penting).”
Kesimpulan dari penulis adalah sebagai berikut: [10]
“Adapun kata-kata wa sunnaty (dan sunnahku), saya tidak meragukan ke-maudhu’-annya karena ke-dha’if-an sanadnya, dan faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi kelemahannya.
* * *
Referensi :
[1] Diriwayatkan oleh Turmidzi dan Nasai dari Jabir, dan telah dikutip dari keduanya oleh al-Muttaqi al-Hindi dalam juz I, kitab Kanzul Ummal, halaman 44, bab: berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, no. hadits 870
[2] Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Zaid bin Arqam. Dan merupakan hadits yang ke 874 di antara hadits-hadits kitab Kanzul Ummal, juz I, halaman 44
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Zaid bin Tsabit lewat dua sanad yang shahih, pertama di halaman 182, dan yang kedua di halaman 189, juz V. Diriwayatkan pula oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la dan Ibnu Sa’ad dari Abu Sa’id. Tersebut dalam Kanzul Ummal juz I, halaman 47 sebagai hadits ke 945.
[4] Hakim, al-Mustadrak, juz III, pp. 148 dengan keterangan: “Hadit ini isnadnya shahih menurut syarat diriwayatkannya”. Diriwayatkan pula oleh adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak. Ia mengakuinya sebagai hadits yang shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.
[5] Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah-Syi’ah,Mizan, Bandung, 2001, pp. 39-40


Hadits ini diriwayatkan dalam amat banyak kitab dengan beberapa redaksi yang berbeda namun dengan makna yang mirip. Di antaranya adalah:
1. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3, pp. 13, 17, dan 26
2. Al-Hafizh Abu Na’im, hilyat al-Awliya, juz 3, pp. 306
3. Ibn ‘Abdul Barr, al-Isti’ab
4. Al-Khathib al-Baghdadi, Tarik Baghdad, juz 12, pp. 91
5. Muhammad bin Thalhah al-Syafi’i, Mathalib al-Su’ul, pp. 20
6. Ibn al-Atsir al-Jauzi, al-Nihayah
7. Sabth Ibn al-Jauzi, Tadzkirah Khawwaash al-Ummah, pp. 323
8. Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 343, jilid 3, halaman 151.
9. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 184 dan 234.
10. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
11. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 30 dan 370,cet Al-Haidariyah; halaman 27 dan 308, cet. Islambul.
12. Muhammadiyah, Mesir; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
13. Tarikh Al-Khulafa’, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i
14. Is’afur Raghibin, oleh Ash-Shabban Asy-Syafi’I, halaman 109, cet. As-Sa’idiyah; halaman 103, cet. Al-‘Utsamniyah.
15. Faraid As-Simthain, jilid 2, halaman 246, hadis ke 519.
16. Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh Ath-Thabrani, jilid 1, halaman 139.
17. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
18. Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 168.
19. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 148 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
20. Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 104, cet. As-Sa’idiyah.
21. Manaqib Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Syafi’I, halaman 132, hadis ke: 174,175,176 dan 177, cet. Pertama, Teheran.
22. ‘Uyunul Akhbar, oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, halaman 211, cet. Darul Kutub Al-Mishriyah, Kairo.
23. Al-Fathul Kabir, oleh An-Nabhani, jilid 1, halaman 414; jilid 2, halaman 113.
24. Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf, halaman 113.
25. Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 95.
26. Syarh Nahjul Balghah, oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 1, halaman 73, cet. Pertama, Mesir; jilid 1, halaman 218, cet. Mesir, dengan Tahqiq Muhammad Abul Fadhl.
27. Kunuzul Haqaiq, oleh Al-Mannawi, halaman 119, tanpa menyebutkan cetakan; halaman 141, cet. Bulaq.
28. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman: 27,28,181,183,193,261 dan 298, cet. Islambul; halaman 30,31,213,217,228,312 dan 375. cet. Al-Haidariyah.
29. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 9, halaman 270-293, cet. Teheran.
30. Muhammad wa li wa banuhu Al-Awshiya’, oleh Al-‘Askari, jilid 1, halaman 239-282, cet. Al-Adab.
31. Faraid As-Simthain, jilid 2, halaman 244, hadis 517. (yayasan-aljawad.blogspot.com/2009_10_01_archive.html)
[7] Mustadrak al-Hakim, juz 1, pp. 93
[8] Disadur dari kitab Shahih Shifat Shalat An-Naby [Shalat Bersama Nabi saw] karya Sayyid Hasan bin Ali Ba’Agil – Pustaka Hidayah – Bandung oleh blog http://helmifoad.blogspot.com/2007/09/kitabullah-wa-sunnati-atau-kitabullah.html
[9] Al-Mustadrak al-Hakim, juz 1, pp. 93
[10] Disadur dari kitab Shahih Shifat Shalat An-Naby [Shalat Bersama Nabi saw] karya Sayyid Hasan bin Ali Ba’Agil – Pustaka Hidayah – Bandung oleh blog

Filsafat Pendidikan Islam

Sebagian orang cenderung ‘alergi’ dengan istilah filsafat. Hal ini langsung atau tidak tentu ada kaitannya dengan kritikan pedas Imam Ghazali dalam kitab Tahafut al Falasifah (Kerancuan Filsafat) kepada para filsuf. Namun kalau diteliti secara seksama isi kitab tersebut, kritik Al Ghazali itu sebenarnya tertuju pada filsafat teologi (ilmu kalam) yang merupakan cabang dari filsafat agama (philosophy of religion)

Bukan filsafat yang lain.[1] Dan bukan pada filsafat itu sendiri. Karena filsafat itu pada dasarnya hanyalah alat. Dan setiap alat bersifat netral. Ini perlu ditekankan di sini supaya kita tidak salah kaprah dan apriori pada semua yang namanya filsafat.
Secara kronologi historik asal mula kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophos, philosophi. Kata ini kemudian dipakai dalam bahasa Latin philosophia dan Prancis klasik filosofie. Lalu diadopsi dalam bahasa Inggris abad pertengahan menjadi philosophie dan kemudian philosophy. Dalam bahasa Arab diadaptasi menjadi falsafah (jamak, falasifah) dan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai filsafat atau filosofi. Yang artinya cinta kebijakan (love of wisdom).[2]
Setidaknya ada 8 makna filsafat secara terminologis (istilah). Namun yang paling relevan dengan tulisan ini adalah “a set of ideas or beliefs relating to a particular field or activity; an underlying theory” (ide pokok yang menjadi landasan suatu aktifitas atau keilmuan tertentu). [3] Dengan definisi ini, ketika dikatakan “filsafat pendidikan Islam”, maka maksudnya adalah apa saja kerangka ide utama suatu sistem pendidikan itu disebut Islami atau berada dalam koridor keislaman. Dan apa tujuan utama dari suatu sistem pendidikan Islam. Tulisan singkat ini hanya akan menggarisbawahi sejumlah filosofi pendidikan Islam di mata kalangan edukator muslim berpengaruh, baik yang klasik maupun kontemporer.
***
Pendidikan Islam ideal, kata Wan M. Nor Wan Daud, harus meliputi dua kategori ilmu tradisional, dan hubungan hirarki keduanya.[4] Yakni ilmu wahyu yang dapat dicapai melalui ilmu-ilmu agama (QS At Taubah 9:122). Dan ilmu umum yang dapat digali melalui ilmu rasional, intelektual dan filosofis. (QS Ali Imron 3:190).
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa dalam konsep tauhid, ilmu bersifat holistik (menyeluruh). Tidak ada pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Karena kedua tipe keilmuan itu sama-sama ikut berkontribusi dalam memperkuat iman. Ilmu agama memperkuat keimanan melalui wahyu sementara ilmu umum melalui kajian ilmu humanitas dan alam secara sistematik dan seksama.[5]
Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai ta’dib (dari kata, adab). Dia mendefinisikan istilah ini sebagai kedisiplinan fisik, pikiran dan jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengakui posisi yang pantas dalam hubungannya dengan dirinya, keluarganya dan komunitasnya. Kepantasan posisi atau derajat seseorang adalah berdasarkan pada kriteria intelektual, ilmu dan kesalihan (ihsan). Dengan pengertian ini, adab adalah refleksi kearifan (hikmah) dan kedilan (‘adl).[6]
Al Attas bukanlah “inventor” pertama yang memperkenalkan istilah adab dalam konsep pendidikan Islam. Adalah sastrawan Arab legendaris Amr bin Bahr al-Jahiz (wafat 869 M) yang mempopulerkan istilah ini pertama kali. Al Jahiz mengartikan adab sebagai sistem pendidikan menyeluruh dari seorang muslim yang berbudaya yang menjadikan seluruh isi dunia sebagai obyek ilmu dan rasa keingintahuan. Di mana pada gilirannya pendidikan yang holistik akan memengaruhi perkembangan moral seseorang ke arah yang lebih baik.[7]
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seorang edukator muslim asal Turki Fethullah Gülen. Menurutnya filsafat pendidikan Islam adalah sistem pendidikan holistik, menyeluruh dan tidak terpisah—antara ilmu agama dan ilmu umum– yang bertujuan untuk memperkaya pemikiran spiritual dan kritis baik bagi laki-laki dan perempuan. Bagi Gulen, pendidikan adalah alat untuk melatih jiwa dan raga dalam rangka melaksanakan kehendak Allah di muka bumi. Menurutnya pelatihan yang tepat dari seluruh aspek kondisi manusia akan membuahkan hasil yang holistik bagi seseorang baik secara spiritual, moral, rasional dan psikologis.[8]
Gulen tidak sependapat adanya garis pemisah antara ilmu agama (religious sciences) dan ilmu umum (secular sciences). Pemisahan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum adalah pandangan tidak holistik atas ilmu Allah. Dia menyadari pentingnya menguasai ilmu-ilmu sains dan menekankan bahwa tak ada pemisahan kognitif antara kebenaran spiritual dan penelitian saintifik, dan oleh karena itu dia meyakini bahwa tidak ada ketidakcocokan (disharmoni) antara prinsip-prinsip Islam dan metodologi saintifik.[9]
***
Dari pandangan sejumlah edukator muslim di atas, dapat digarisbawahi bahwa filosofi atau kerangka besar (grand design) pendidikan Islam memiliki beberapa tujuan dasar penting sebagai berikut, pertama, bahwa pendidikan bertujuan untuk mendidik raga, pikiran dan jiwa untuk semakin bertakwa dan beriman kepada Allah yang pada gilirannya akan tergambar pada perilaku salih (ihsan) dan arif (hikmah) serta adil. Dengan demikian, seluruh proses belajar mengajar dan pelatihan harus mengarah ke tujuan peningkatan keimanan tersebut.
Kedua, dalam konsep tauhid ilmu agama dan ilmu umum bukanlah sesuatu yang berbeda karena keduanya sama-sama ilmu Allah dan dapat berpotensi sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan pengembangan kepribadian moral, spiritual dan psikologis.
Ketiga, bahwa kriteria yang pantas bagi seseorang untuk menempati suatu posisi hendaknya berdasarkan pada tiga elemen yaitu intelektual, ilmu dan kesalihan. Dan ini harus menjadi kesadaran inheren anak didik sejak dini.
Para pendidik hendaknya merevisi kembali sistem dan kurikulum pendidikannya, apabila ternyata hasil dari proses pendidikan tidak memenuhi tiga prinsip pendidikan Islam di atas. Terutama saat keilmuan yang diperoleh tidak membuat perbaikan dari segi moral dan spiritual anak didik. Wallahu A’lam[]
CATATAN AKHIR
[1]Setidaknya ada 9 cabang pokok dari ilmu filsafat yaitu filsafat metafisika, epistemologi, etika, politik, estetika, logika, filsafat berfikir, filsafat bahasa dan filsafat agama. Yang masing-masing memiliki cabang lagi. Lihat An Introduction to Philosophy, George Stuart Fullerton (Nabu Press, USA:2010). Filsafat agama adalah cabang filsafat yang menjadi sasaran serangan Al Ghazali dalam Tahaful al Falasifah.
[2] The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company.
[3] Collins English Dictionary – Complete and Unabridged © HarperCollins Publishers 2003
[4] Wan M. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam (Mansell, 1991)
[5] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Kazi Publications, 2007)
[6] S. M. Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, (ISTAC, 1990).
[7]Tarif Khalidi, Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age, (Princeton, 1985), hal. 57.
[8] Lihat bahasan detail dalam B. Jill Carroll and Akbar S. Ahmed, A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse (Tughra, 2007)
[9] Fethullah Gülen, Essays, Perspectives, Opinions (The Light, Inc., 2004)

Nubuat nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. bahwa Nabi Muhammad adalah nabi

Berbagai kisah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah dinubuatkan oleh nabi sebelum beliau juga pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw.: [1]
Kisah pendeta Bahira :
Sekali waktu ketika Rasulullah saw. berlum beranjak dewasa dan masih hidup bersama Abu Thalib, pamannya itu mengadakan perjalanan untuk berdagang ke Syria seraya membawa serta Rasulullah saw.
Kafilah dagangnya besar dan sarat muatan. Tatkala mereka memasuki Syria, mereka tiba di sebuah kota bernama Busra dan berhenti singgah dekat sebuah biara. Mereka memasang tenda dan beristirahat. Seorang pendeta bernama Bahira keluar dari biara dan mengundang kafilah itu untuk makan malam. Semua orang dalam kafilah itu menerima undangan pendeta dan kemudian masuk ke dalam biara. Akan tetapi, Abu Thalib meninggalkan keponakannya di luar guna menjaga dagangan mereka.
Bahira bertanya, “Sudahkan semuanya hadir?” Abu Thalib menjawab bahwa semuanya sudah hadir, kecuali seorang anak muda, anggota paling muda dalam kafilahnya. Bahira berkata, “Ajaklah dia kemari.” Abu Thalib yang meninggalkan Rasulullah saw. di luar di bawah sebuah pohon zaitun, memanggil beliau agar masuk. Bahira melihat Rasulullah saw. dari dekat dan berkata kepadanya, “Mendekatlah kemari, aku harus berbicara kepadamu.” Dia menarik Rasulullah saw. ke samping. Abu Thalib mengikuti mereka. Bahira lalu berkata kepada Rasulullah saw.: “Aku akan bertanya kepadamu dan bersumpah kepadamu demi Lat dan ‘Uzza agar engkau menjawab pertanyaanku.”
Rasulullah saw. menjawab, “Tak ada sesuatu pun lebih menjijikkanku daripada kedua berhala itu.” Bahira lalu berkata, “Baiklah, aku bersumpah kepadamu demi Tuhan Yang Esa agar engkau menjawab pertanyaanku dengan jujur.” Rasulullah saw. menjawab, “Aku selalu berkata jujur, tak pernah berdusta. Bertanyalah.” Bahira bertanya, “Apa yang paling kau sukai?” Rasulullah saw. menjawab, “Kesendirian.” Bahira bertanya, “Apa yang paling sering dan paling suka kau perhatikan?” Dia menjawab, “Langit dan bintang-bintangnya.” Bahira bertanya, “Apa yang kau pikirkan?”
Rasulullah saw. tetap diam, tetapi Bahira memperhatikan dahi beliau dengan teliti dan akhirnya bertanya, “Kapan dan dengan pikiran apa engkau tidur?” Beliau menjawab, “Ketika, selagi aku melihat langit, aku menlihat bintang-bintang dan mendapatinya berada dalam pangkuanku, dan diriku ada di atasnya.” Bahira bertanya, “Apakah kau juga bermimpi?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, dan apa saja yang aku lihat dalam mimpi, aku lihat juga dalam keadaan berjaga.” Bahira terus bertanya, “Apa, misalnya, yang kau lihat dalam mimpi?” Rasulullah saw. diam. Bahira juga diam.
Setelah hening sejenak, Bahira bertanya, “Boleh aku melihat di antar kedua bahumu?” Tanpa bergerak, Rasulullah saw. menjawab, “Ya, silakan.” Bahira berdiri, mendekat dan kemudian menyibakkan jubah Rasulullah saw. dari bahunya. Dia melihat tahi lalat hitam, dan bergumam, “Sama.” Abu Thalib bertanya, “Sama dengan apa? Apa yang Anda katakan?” Bahir berkata, “Katakan kepadaku. Apa hubungan Anda dengan anak ini?” Abu Thalib, yang sangat mencintai Rasulullah saw. seperti anaknya sendiri, menjawab, “dia anakku.” Bahira menukas, “Bukan. Ayah anak ini telah meninggal” Abu Th?lib bertanya, “Betul. Bagaimana Anda tahu? Dia memang anak saudaraku.” Bahira berkata kepada Abu Thalib, “Dengar. Anak ini akan menjalani kehidupan yang gemilang dan luar biasa kelak di kemudian hari. Jika orang lain mengetahui apa yang telah kulihat dan mereka mengenalinya, mereka akan membunuh anak ini. Sembunyikan dan lindungi dia dari musuh-musuhnya.” Abu Thalib bertanya, “Katakan padaku, siapa sesungguhnya anak ini?” Bahira pun menjawab, “Dalam sorot matanya, ada tanda-tanda seorang Nabi besar, begitu pula di punggungnya.”
Kisah pendeta Nesturius :
Beberapa tahun kemudian, Rasulullah saw. sekali lagi mengadakan perjalanan ke Damaskus, mengurusi bisnis Khadijah dengan membawa barang-barang dagangannya. Khadijah menyertekan pelayan wanitanya, Maysarah, untuk menemaninya dan memerintahkannya agar benar-benar mematuhi beliau. Dalam perjalanan ini juga, ketika mereka tiba di Syiria, mereka berhenti dekat kota Busra dan beristirahat di bawah sebuah pohon. Di dekat situ ada sebuah biara milik seorang pendeta bernama Nesturius, yang sudah kenal dengan Maysarah. Dia bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang tengah beristirahat di bawah pohon itu?” Maysarah menjawab, “Salah seorang dari suku Quraisy.” Pendeta itu berkata, “Belum pernah dan tidak bakal pernah ada seorang yang beristirahat di bawah pohon itu kecuali seorang dari rasul-rasul Allah.” Lalu dia bertanya: “Apakah matanya sedikit berwarna merah?” Maysarah menjawab: “Ya, matanya memang senantiasa berwarna demikian.” Pendeta berkata, “Ya, memang benar. Dia adalah rasul Allah yang terakhir. Mudah-mudahan saja aku berumur panjang dan menyaksikan dia diperintah untuk menyeru manusia beribadah kepada Allah.”
Nubuat kaum Yahudi Madinah
Ada banyak kabilah Yahudi, yang telah membaca keterangan-keterangan tentang nabi yang akan datang, hijrah dari tanah air mereka dan menetap di Hijaz, khususnya di Madinah dan sekitarnya. Mereka tengah menanti-nanti kedatangan nabi yang diharapkan itu. Karena mereka adalah orang-orang kaya, orang-orang Arab merasa iri kepada mereka dan bahkan menjarah harta benda mereka.
Orang-orang Yahudi yang sedih itu selalu berkata, “Kami akan bersabar atas siksaan dan penindasan kalian atas kami hingga Nabi yang dijanjikan berhijrah dari Makkah dan tiba di sini. Kemudian, kami akan memeluk agama Nabi Suci itu dan menuntut balas atas kalian.” Faktor utama yang menyebabkan orang-orang Madinah cepat menerima Islam adalah kesiapan mentalmereka mengenai berita gembira itu. Mereka kelak menerima Islam, namun orang-orang Yahudi mengingkarinya, lantaran sikap keras kepala mereka.
Allah swt. menyebut-nyebut nubuat-nubuat ini di beberapa tempat. Berkaitan dengan berimannya sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, Allah swt. berfirman dalam al-Qur’an:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS AL-A’RAF(7):157)
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS AL-BAQARAH(2):89)
Nubuat-nubuat tersebut adalah nubuat yang kita ketahui melalui sejarah. Tuhan juga menunjukkan kita bukti yang sangat kuat, yaitu dalam bentuk tulisan. Salah satu contohnya adalah dalam Perjanjian Lama. Abdul Ahad Dawud menuliskan [2]:
Pada tahun 721 SM, Israel dan ibu kotanya Syakim (Nablus) jatuh ke tangan orang-orang Assyria. Penduduknya yang merupakan sisa-sisa sepuluh keturunan Israel (Ya’qub) kemudian dibuang ke seluruh penjuru Assyria. Hampir satu setengah abad kemudian (pada tahun 586 SM), kerajaan Yahudza dan ibu kotanya al-Quds jatuh ke tangan orang=orang Kaldan di bawah pimpinan Nebukadnezar. Pada saat itu, Haikal Sulaiman dihancurkan. Eksekusi mati diberlakukan terhadap semua keturunan Yahudza dan Benyamin: pendiri kerajaan Yahudza. Yang selamat dari pembantaian itu diasingkan ke Babylon. Mereka tinggal di pengasingan tersebut sampai Cyrus, Raja Persia, menaklukkan Babylon pada tahun 538 SM. Cyrus lalu mengizinkan mereka kembali ke Palestina dan membangun ulang kota al-Quds berikut Haikal Sulaiman.
Ketika fondasi Haikal Sulaiman yang baru diletakkan, terdengarlah teriaan kegembiraan di antara kaum Yahudi. Perasaan haru dan tangis bahagia juga muncul dari kalangan tua yang pernah menyaksikan Haikal Sulaiman dengan mata sendiri sebelum tempat ibadah itu dihancurkan.
Pada saat itulah Allah mengutus seorang nabi yang bernama Hagai untuk menyampaikan risalah penting kepada semua yang hadir:
“Semua bangsa akan Ku-gemparkan dan akan datang Himdah untuk semua bangsa, sehingga Aku akan memenuhi rumah-Ku ini dengan keagungan. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Aku memiliki perak dan emas. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Keagungan rumah baru itu lebih hebat dari keagungannya dulu. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Di tempat inilah aku akan memberikan Syalom. Demikianlah firman Tuhan semesta alam.” (Hagai 9/7-9).
Paragraf diatas diterjemahkan dari satu-satunya naskah Bibel di milik penulis buku “Muhammad in The Bible” dengan bahasa lokal. Setelah dikomparasikan dengan naskah lain, didapati bahwa terjemah Bibel yang lain menerjemahkan kata Ibrani Himdah dan Syalom menjadi “harapan” (desire) dan “kedamaian” (peace).
Para mufasir Yahudi dan Nasrani sama-sama menilai penting kedua janji yang terdapat di dalam nubuat tersebut. Keduanya memahamai bahwa kata Himdah merupakan nubuat akan munculnya seorang mesias. Kalau nubuat ini hanya diinterpretasikan dengan arti ‘harapan’ dan ‘kedamaian’, tentu ia akan menjadi angan-angan kosong tanpa tujuan konkret. Sebaliknya, jika kita pahami kata Himdah sebagai sosok yang nyata, dan kata Syalom sebagai agama serta agama Islam. Sebab, kata Himdah dan Syalom dengan sangat detil menunjuk pada makna kata Ahmad dan Islam.
Sebelum menetapkan kebenaran nubuat yang berkenaan dengan kata Ahmad dan Islam ini,akan lebih baik jika asal dua kata ini diurai.
Pertama: Kata Himdah di dalam bahasa Ibrani diucapkan, “ve yavu himdath kol haggoyim” yang secara literal berarti, ‘maka kelak akan datang Himdah bagi semua bangsa’. Kata ini diambil dari bahasa Ibrani kuno atau Arami; aslinya adalah himd yang dilafalkan tanpa huruf mati menjadi himid, di dalam bahasa Ibrani berarti ‘harapan yang sangat besar’, ‘sesuatu yang sangat diinginkan’, atau ‘sesuatu yang selalu dikejar oleh manusia’. Di dalam bahasa Arab, kata kerja ha-mi-da juga berasal dari akar kata yang sama: ha’-mim-dal; yang berarti ‘pujaan’, atau ‘yang terpuji’.
Jadi apakah ada yang lebih patut dipuji dibandingkan seseorang yang selalu didamba dan diharapkan? Apa pun arti yang diambi dari akar kata ini, hakikatnya tidak akan berubah dan tidak dapat diperdebatkan lagi: kata Ahmad dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata Himdah.
Allah berfirman,
“(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai bani Israel, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad),”
(QS. ASH-SHAFF (61):6)
Di dalam Injil Yohanes yang ditulis dalam bahas Yunani muncul nama Paracletos: bentuk kata yang tidak dikenal dalam sastra Yunani. Akan tetapi ada kata Periqlytos yang makna dan maksudnya tepat merujuk pada kata Ahmad. Jadi, kata itu pasti merupakan terjemahan Yunani asli bagi kata Himdah dalam bahasa Arami sebagaimana yang dilafalkan oleh Isa al-Masih.
Kedua: Mengenai asal kata syalom dan syalama dalam bahasa Ibrani, serta kata salam dan islam dalam bahasa Arab, tampaknya saya tidak perlu membebani pembaca dengan uraian linguistik. Sebab, semua ahli bahasa Semit mengetahui bahwa kata syalom dan syalam merupakan derivasi dari satu kata yang sama. Keduanya memunculkan arti ‘kedamaian’ atau ‘penyerahan diri’.
Nubuat tentang Nabi Muhammad saw. ditemukan juga dalam agama Hindu. Abdul Ahad Dawud dan Abdul Haq Vidyarthi menuliskan [3]
Sejak dulu, kaum Hindu sudah dikenal atas tindakan mereka mengagungkan pahlawan. Sifat mereka ini, sesungguhnyalah, kemudian menjadi salah satu bentuk di dalam agama mereka. Maharishi Vyasa adalah sosok yang sangat dihormati oleh kaum Hindu sebagai Rishi agung dan mendapat bimbingan langit. Dia adalah sosok yang sangat‘Alm, takut kepada Tuhan, dan manusia yang berhati suci. Dialah pria yang menyusun Weda di bawah berbagai tajuk. Dia juga menulis kitab yang sangat berharga yang berhubungan dengan mistisme. Gita dan Maha Bharata adalah hasil karya penanya yang sangat luar biasa. Namun, karya terhebatnya adalah delapan belas volume kitab Purana. Yang terutama di antara kitab Purana adalah sebuah kitab yang dikenal sebagai “Bhavishya Puran” di mana sang Maharishi melontarkan pengamatan luar biasa tentang berbagai kejadian pada masa depan. Kitab ini disebut Bhavishya Puran karena memuat berbagai kejadian yang akan terjadi pada masa depan. Kaum Hindu menganggap kitab ini sebagai firman Tuhan sama halnya dengan Weda. Maharishi Vyasa hanyalah orang yang mengumpulkan kitab ini. Penulis sebenarnya adalah Sang Mahakuasa. Kopi dari Bhavishya Puran, yang berbagai nubuatnya kami kutip dalam uraian ini, dicetak oleh Venktesh-wer Press di Mumbai. Kami menemukan nubuat berikut di dalam Prati Sarg ParvIII: 3, 3, 5-8
“Seorang malechha (berasal dari negara lain dan berbicara bahasa lain) guru spiritual akan datang bersama para sahabatnya. Namanya adalah Muhammad. Raja (Bhoj) setelah memandikan Maha Dev Arab (yang serupa malaikat) di dalam “Panchgavya” dan Sungai Gangga (untuk membersihkan dirinya dari dosa) menawarkan hadiah kepadanya atas pengabdiannya yang tulus dan menghormatinya, dan kemudian berkata, ‘Aku membungkuk di hadapanmu, wahai kebanggaan manuia, penghuni Arabia. Engkau telah kumpulkan kekuatan besar untuk membunuh iblis dan engkau sendiri terlindung dari musuh-musuh malechha. Wahai citra Tuhan Yang Mahaasih, Tuhan Yang Mahabesar, akulah hambaMu, dan anggaplah aku sebagai hambaMu yang bersimpuh di hadapanMu.’”
Tentang nubuat nabi-nabi terdahulu terhadap nabi-nabi sesudahnya, Imam‘Ali kw. bersabda [4]
“Allah yang Mahasuci tak pernah membiarkan hambaNya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara yang mendahului menyebutkan yang menyusulnya atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.”
Referensi :
[1] Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1996, pp. 77-80
[2] Abdul Ahad Dawud, Muhammad in The Bible, Penerbit Almahira, Jakarta, 2009, pp.3-5
[3] Abdul Haq Vidyarthi dan ‘Abdul Ahad Dawud, Ramalan tentang Muhammad saw. Dalam Kitab suci Agama Zoroaster, Hindu, Buddha, dan Kristen, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2008, pp.28-35
[4] Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, Khutbah 1, pp. 31

Pengertian Imam

Murtadha Muthahhari menuliskan: [1]
Imam berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Kata Imam tidak menyatakan secara tidak langsung segala pengertian mengenai kesucian. Imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia itu shaleh atau tidak. Al-Qur’an sendiri telah menggunakan kata ini dalam kedua pengertian di atas. Pada satu tempat al-Qur’an mengatakan:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai Imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah (izin) Kami.” (QS 21 (AL-ANBIYA’):73)
Di tempat lain al-Qur’an mengatakan:
“Kami menjadikan mereka pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyeru kepada neraka.” (QS 28(AL-QASHASH):41)
Berkenaan dengan Fir’aun, al-Qur’an menggunakan kalimat yang memberikan suatu pengertian yang serupa dengan seorang Imam atau pemimpin. Ia mengatakan:
“Ia berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka.” (QS 11(HUD):98)
Jadi Imam secara harfiah berarti seorang pemimpin. Dalam bagian berikutnya, kita akan mencoba membahas kepemimpinan (Imamah) dalam arti yang positif, yakni kepemimpinan umat Islam sepeninggal Nabi saw..
* * *
Referensi :
[1] Saduran dari Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, CV. Firdaus, Jakarta, 1991, pp. 22

FILSAFAT HIDUP RASULULLAH

Firman Allah : " Dan barang siapa ber Tawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan ( keperluan )-nya ". ( QS Ath Thalaq : 3 )
Firman Allah : " Dan apa saja yang engkau Infaqkan, maka Allah akan mengganti. Dan DIA-lah sebaik-baik Pemberi Rizqi ". ( QS Saba' : 39 )


FILSAFAT HIDUP RASULULLAH

Saudara-saudara pembaca Web-site NurSyifa' yang berbahagia. Marilah kita tingkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Dengan pengertian taqwa yang sebenar-benarnya dan seluas-luasnya, yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya.
Seorang muslim yang sejati adalah apabila ia telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai idola dalam hidupnya. Kita ikuti sikap dan tindak-tanduknya, demikian pula filsafat hidupnya harus diteladani.
Bagaimana filsafat hidup Rasulullah? Filsafat hidup adalah hal yang abstrak, yakni bagaimana seseorang memandang suatu persoalan hidup, cara memecahkan atau menyelesaikannya. Ada beberapa filsafat hidup yang dianut oleh manusia:
1. Pertama : Dalam hidup ini yang penting perut kenyang dan badan sehat.
2. Kedua : Dalam hidup ini mengikuti ke mana arah angin berhembus, angin berhembus ke Timur, ikut ke Timur, angin berhembus ke Barat, ikut ke Barat, suapaya selamat dan mendapatkan apa yang diinginkan.
3. Ketiga : Dalam hidup ini yang penting "GUE SENENG" masa bodoh dengan urusan orang lain.
4. Keempat : Dalam hidup ini harus baik di dunia dan baik di akhirat.
Sebagai muslim sudah selayaknya kita berfilsafat sebagaimana filsafat hidup Rasulullah SAW.

Filsafat hidup Rasulullah adalah sebagai berikut :
1. Pertama : Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat. "Wahai Rasulullah, bagaimana kriteria orang yang baik itu? Rasulullah menjawab:
Yang artinya: "Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain".
Jika ia seorang hartawan, hartanya tidak dinikmati sendiri, tapi dinikmati pula oleh tetangga, sanak famili dan juga didermakan untuk kepentingan masyarakat dan agama. Inilah ciri-ciri orang yang baik. Jika berilmu, ilmunya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Jika berpangkat, dijadikannya sebagai tempat bernaung orang-orang disekitarnya dan jika tanda tangannya berharga maka digunakan untuk kepentingan masyarakat dan agama, tidak hanya mementingkan diri dan golongannya sendiri.
Pokoknya segala kemampuan/potensi hidupnya dapat dinikmati orang lain, dengan kata lain orang baik adalah orang yang dapat memfungsikan dirinya ditengah-tengah masyarakat dan bermanfaat.
Sebaliknya kalau ada orang yang tidak bisa memberi manfaat untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya bahkan segala kenikmatan hanya dinikmatinya sendiri, berarti orang itu jelek. Adanya orang seperti itu tidak merubah keadaan dan perginyapun tidak merugikan masyarakat.
Jadi filsafat hidup Rasulullah SAW menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita sebagai manusia untuk memegang filsafat hidup. Orang yang hanya menanam rumput untuk makanan ternak ia akan mendapatkan rumput tapi padinya tidak dapat, sebaliknya orang yang menanam padi, ia akan mendapatkan padi dan sekaligus mendapatkan rumput, karena rumput tanpa ditanam akan tumbuh sendiri. Begitu juga dengan kita yang hidup ini, kalau niat dan motivasinya sekedar mencari rumput (uang) iapun akan memperolehnya, tetapi tidak dapat padinya atau tidak akan memperoleh nilai ibadah dari seluruh pekerjaannya.
Oleh karena itu dalam menjalankan kehidupan, niatkan untuk ibadah dengan suatu keyakinan bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita, kita yakini sebagai tempat mengabdi kepada Nusa, Bangsa dan Negara, dan sebagai upaya menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian maka setiap hendak berangkat ke tempat bekerja berniatlah beribadah, Insya Allah seluruh pekerjaan kita akan bernilai ibadah, dan mendapatkan pahala.
Alangkah ruginya orang yang hidup ini niatnya hanya mencari "rumput" walau hal itu penting, tetapi kalau niatnya hanya itu saja, orang tersebut termasuk orang yang rugi, karena ia tidak akan mendapatkan nilai ibadah dari pekerjaannya.
Yang namanya ibadah bukan hanya shalat, zakat, puasa atau membaca Al-Qur'an saja, tetapi bekerja, mengabdi kepada masyarakat, Negara dan Bangsa dengan niat Lillahi Ta'ala ataupun ibadah. Hal ini penting untuk diketahui, karena ada yang berfilsafat: Kalau ada duitnya baru mau kerja, kalau tidak ada duitnya malas bekerja.

2. Kedua : Rasul pernah ditanya, wahai Rasulullah! Orang yang paling baik itu yang bagaimana? Rasul menjawab :
Yang artinya : "Sebaik-baiknya diantara kamu ialah orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya".
Sudah barang tentu orang yang semacamn ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya kalau ada orang yang amalnya baik tapi umurnya pendek masyarakat akan merasa kehilangan. Rasulullah juga mengatakan,"Seburuk-buruknya manusia yaitu mereka yang panjang umurnya tapi jelek perbuatannya".
Jadi sebenarnya kalau ada orang semacam itu mendingan umurnya pendek saja, supaya masyarakat sekitarnya tidak banyak menderita dan agar ia tidak terlalu berat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Orang yang umurnya panjang dan banyak amal kebajikannya itulah orang yang baik.
Permasalahannya sekarang bagaimana agar kita mendapat umur yang panjang. Sementara orang ragu, bukankah Allah telah menentukan umur seseorang sebelum lahir? Pernyataan ini memang benar, tapi jangan lupa Allah adalah Maha Kuasa menentukan umur yang dikehendaki-Nya.
Adapun resep agar umur panjang sebagaimana resep Rasulullah :
Secara lahiriyah, kita semua sependapat untuk hidup sehat, harus hidup teratur, makan yang bergizi serta menjaga kondisi dengan berolahraga yang teratur.
Secara spiritual orang yang ini panjang umur ada dua resepnya:
1. Pertama : Suka bersedekah yakni melepaskan sebahagian hartanya di jalan Allah untuk kepentingan masyarakat, anak yatim, fakir miskin maupun untuk kepentingan agama. Dengan kata lain orang yang kikir atau bakhil sangat mungkin umurnya pendek.
2. Kedua : Suka silahturahmi, Silah berarti hubungan dan rahmi berati kasih sayang, jadi suka mengakrabkan hubungan kasih sayang dengan sesama, saling kunjung atau dengan saling kirim salam.
Sementara para ahli tafsir menyatakan sekalipun bukan umur itu yang bertambah misalnya 60 tahun, karena sering silahturahmi meningkat menjadi 62 tahun, banyak sedekahnya menjadi 65 tahun. Kalau bukan umurnya yang bertambah, setidak-tidaknya berkah umur itu yang bertambah. Umurnya tetap tapi kualitas dari umur itu yang bertambah.

3. Ketiga : Rasul pernah ditanya, orang yang paling beruntung itu yang bagaimana? Rasul Menjawab :
Yang artinya : "Barang siapa yang keadaannya hari ini kualitas hidupnya lebih baik dari hari kemarin maka dia adalah orang beruntung".
Kalau kita bandingkan dengan tahun kemarin, ilmu dan ibadahnya, dedikasinya, etos kerja, disiplin kerja meningkat, dan akhlaknya semakin baik, orang tersebut adalah orang yang beruntung. Dengan kata lain filsafat hidup Rasulullah yang ketiga adalah "Tiada hari tanpa peningkatan kualitas hidup".
Pernyataan Rasul yang kedua :
Yang artinya: "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang rugi".
Jika amalnya, akhlaknya, ibadahnya, kedisplinannya dan dedikasinya tidak naik dan juga tidak turun maka orang tersebut termasuk orang yang merugi.
Sementara orang bertanya: Kenapa dikatakan rugi padahal segala-galanya tidak merosot? Bagaimana dikatakan tidak rugi, mata sudah bertambah kabur, uban sudah bertabu, giginya sudah pada gugur dan sudah lebih dekat dengan kubur, amalnya tidak juga bertambah, kualitas hidup tidak bertambah maka ia adalah rugi. Dan Rasul mengatakan selanjutnya :
Yang artinya : "Barangsiapa keadaan hidupnya pada hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka orang semacam itu dilaknat oleh Allah".
Oleh karena itu pilihan kita tidak ada lain kecuali yang pertama, yakni tidak ada hari tanpa peningkatan kualitas hidup. Sebagai umat Islam, kedispilinan, dedikasi, kepandaian, kecerdasan, keterampilan harus kita tingkatkan, agar kita termasuk orang yang beruntung.

4. Keempat : Rasul pernah ditanya : "Wahai Rasulullah! Suami dan isteri yang paling baik itu bagaimana? Rasul menjawab : "Suami yang paling baik adalah suami yang sikap dan ucapannya selalu lembut terhadap isterinya, tidak pernah bicara kasar, tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah menyakiti perasaan isterinya, tetap menghormati dan menghargai isterinya.
Sebab ada sikap seorang suami yang suka mengungkit-ungkit segala kekurangan isterinya, sehingga dapat menyinggung perasaannya, yang demikian termasuk suami yang tidak baik biarpun keren dan uangnya banyak. Hakekatnya suami yang tidak baik yaitu suami yang kasar terhadap isterinya. Dan seorang laki-laki yang mulia ialah yang bisa memuliakan kaum wanita, tidak suka menyepelekan. Sampai-sampai Rasul masih membela kepada kaum wanita beberapa saat sebelum Beliau wafat. Beliau sempat berpesan: "Aku titipkan nasib kaum wanita kepadamu". Diulangnya tiga kali. Karena kaum wanita kedudukannya serba lemah. Jadi kalau seoarang suami memiliki akhlak yang tidak baik maka penderitaan sang isteri luar biasa. Hal ini perlu kita ingat karena segala sukses yang dicapai oleh sang suami pada hakekatnya adalah karena andil sang isteri. Demikian juga andil isteri yang membantu mencarikan nafkah.

5. Kelima : Rasul pernah ditanya, "Wahai Rasulullah! Orang yang benar itu yang bagaimana? Rasul menjawab,"Apabila dia berbuat salah segera bertaubat, kembali kepada jalan yang benar. Oleh karena itu para filosof mengatakan, "Orang yang benar adalah bukan orang yang tak pernah melakukan kesalahan, tapi orang yang benar adalah mereka yang sanggup mengendalikan diri dari perbuatan yang terlarang dan bila terlanjur melakukannya, ia memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan yang salah itu. Ibarat anak sekolah mengerjakan soal, kalau salah tidak jadi masalah, asal setelah dikoreksi tidak mengulangi kesalahannya. Sampai-sampai ada ungkapan yang tidak enak didengar tapi benar menurut tuntunan Islam, yaitu: Bekas maling itu lebih baik dari pada bekas santri. Kita tahu bahwa santri adalah orang yang taat beragama, sedangkan maling penjahat, pemerkosa, dan sebagainya tapi setelah bertaubat menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang benar. Orang yang demikian matinya menjadi khusnul khotimah. Memang yang ideal, orang yang baik itu dari muda sampai tua baik terus, tapi hal itu jarang.
Kesalahan yang sudah terlanjur, selama masih mau bertaubat tidak jadi masalah. Oleh karena itu, segala hukuman, seperti hukuman administrasi dalam kepegawaian, selalu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Apakah kesalahannya tidak bisa ditolerir, apakah orang tersebut perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya atau tidak. Apakah kesalahannya terpaksa atau karena kebodohannya? Maka berbagai pertimbangan perlu dilakukan sehingga ada kesempatan bagi orang tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, agar dia bisa kembali menjadi orang yang baik. Nabi Muhammad SAW bersabda :
Yang artinya: "Walaupun engkau pernah melakukan kesalahan sehingga langit ini penuh dengan dosamu, asal saja kamu bertaubat, pasti akan terima oleh Allah".

6. Keenam : Suka memberi. Sabda Nabi :
Yang artinya : "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah".
Orang yang suka memberi, martabatnya lebih terhormat daripada orang yang suka menerima. Allah berfirman :
Yang artinya : "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 261)
Tidak ada orang yang suka sedekah, kemudian jatuh miskin. Umumnya yang jatuh miskin karena suka judi, togel, dan minuman keras. Dan resep kaya menurut Islam adalah kerja keras, hidup hemat, dan suka sedekah.

7. Ketujuh : Rasul pernah ditanya oleh para sahabat : "Wahai Rasul! Si pulan itu orang yang luar biasa hebatnya. Dia selalu berada dalam masjid, siang malam melakukan shalat, puasa, I'tikaf, berdo'a. Kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, "Apakah orang itu punya keluarga?" Sahabat menjawab, "Punya Ya Rasul". Kata Rasul : "Orang tersebut adalah orang yang tidak baik!. Saya ini suka ibadah tapi disamping itu sebagai seorang suami, berusaha mencari nafkah. Sampai Rasul menyatakan : " Tergolong tidak baik orang yang hanya mementingkan urusan ukhrawi tetapi melalaikan urusan dunia".
Juga tidak benar orang yang hanya mementingkan urusan duniawi tapi melalaikan urusan ukhrawi. Yang paling baik adalah seimbang antara kepentingan duniawi dengan kepentingan ukhrowi dan tidak berat sebelah.
Kesempurnaan Ajaran Nabi Muhammad saw. dan Konstruktivitas Sosial Masyarakat yang Dibentuk Ajaran Nabi Muhammad saw
Ajaran Nabi Muhammad saw. adalah ajaran yang paripurna. Untuk membuktikan kesempurnaan ajaran tersebut, berarti harus merangkum ajaran tersebut. Karena itu, kami kutip sebagian kecil dari ajarannya –kutipan dari al-Qur’an dan hadits- yang merupakan bukti bahwa ini adalah ajaran yang dibawa oleh seorang nabi [1] .
1) Ajaran Nabi Muhammad saw. mengajarkan sendi-sendi al-mabda’ (asal muasal realitas) bahwa segala sesuatu adalah berasal dari Realitas Tunggal yakni al-Haqq al-Wahid yang tiada lain adalah Hakikat Zat Tuhan itu sendiri. Dan bagaimana Sifat-Sifat Tuhan Yang Maha Suci seperti bahwa Ia adalah Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Hidup dan seterusnya
“Allah Pencipta (badi’) langit dan bumi…”
(QS 2 (AL-BAQARAH):117)
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa…”
(QS 32 (AS-SAJDAH):4)
“dialah Yang Awal, Akhir, Jelas, Bathin, dan Dia Mengetahui segala sesuatu.” (QS 57(AL-HADID):2-3)
“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS 24(AN-NUR):35)
2) Ajaran Nabi Muhammad saw. mengajarkan tentang hakikat kehidupan dan perjalanan jiwa manusia mulai dari lahir hingga mati dan apa yang dialami manusia setelah kematiannya (al-ma’ad). Dan bagaimana seorang manusia agar mencapai kebahagiaan abadi yang sejati dalam Limpahan RahmatNya di alam keabadian tersebut.
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (QS 28(AL-QASHASH):85)
“Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ke tempat yang seburuk-buruknya. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat baik, maka bagi mereka pahala yang tiada putus. Maka apa yang membuatmu mendustakan hari pembalasan sesudah itu? Tidakkah Allah Yang Paling Adil diantara yang adil?”
(QS 95(AT-TIN):8)
“Dan jiwa serta penyempurnaan ciptaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91(ASY-SYAMS):7-10)
3) Agama yang dibawa nabi Muhammad saw., sebagai ajaran yang dibawa oleh nabi, memiliki cara yang efektif dalam “mengingatkan” manusia akan fitrahnya.
“Apa kau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat. Orang-orang yang terhadap salatnya lalai. Orang-orang yang riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS 107(AL-MA’UN))
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,(sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (QS 104(AL-HUMAZAH))
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30(AR-RUM):30)
4) Cara hidup yang diajarkan oleh agama nabi Muhammad saw. sangat lengkap dalam mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga dalam berinteraksi sesama makhluk. Sebagian cara hidup tersebut dicantumkan dalam al-Qur’an, kitab suci agama nabi Muhammad saw..
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya pada saat menasehati anaknya, “Hai anakkku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan dan kepada dua orangtuamu, hanya kepadaKulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah kembaimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. “Hai anakku, sungguh, jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah berbuat baik dan laranglah berbuat ingkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan. Dan janganlah kaupalingkan wajahmu dari manusia dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS 31(LUQMAN):13-19)
5) Agama Islam, agama yang dibawa Rasulullah saw., merupakan suatu agama yang memiliki ideologi, tatanan sosial, serta cara hidup (way of life) yang lengkap.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS 2(AL-BAQARAH):275)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS 49(AL-HUJURAT):13)
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
(QS 5(AL-MA’IDAH):54)
“…Pada hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 5(AL-MAIDAH):3)
6) Ajaran nabi Muhammad saw. mengandung basis moralitas yang dapat menciptakan keluhuran jiwa seperti ketabahan, kesabaran, keberanian, keadilan, kasih sayang, kedermawanan, dan lain-lain.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” (QS 2(AL-BAQARAH):45)
“Melepaskan budak, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada yatim yang dekat, atau miskin yang sangat fakir. Kemudian ada diantara orang-orang yang beriman dan saling berwasiat akan kesabaran dan berwasiat akan kasih sayang. Itulah golongan kanan.” (QS 90(AL-BALAD):13-18)
7) Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. mengandung fundamen-fundamen moralitas sosial seperti persatuan, pengorbanan untuk masyarakat, dan lain-lain.
“Dan tidaklah manusia kecuali umat yang satu…”
(QS 10(YUNUS):19)
“Wahai manusia! Sungguh Kami ciptakan kalian dari satu laki dan satu wanita. Lalu Kami buat kalian berbangsa dan bersuku untuk berkenalan. Sungguh yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS 49(AL-HUJURAT):13)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS 3(ALI IMRAN):200)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat baik dan saling berwasiat kepada kebenaran dan berwasiat kepada kesabaran” (QS 103(AL-‘ASHR):3)
8) Agama yang dibawa nabi Muhammad saw. mengandung suatu petunjuk lengkap agar manusia bisa bertransformasi menjadi insan sempurna. Sebagai contoh adalah yang digambarkan oleh hadits Qudsi berikut ini:
“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan) sunah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka jadilah Aku telinganya yang dia pakai untuk mendengar, dan jadi matanya yang dipakai untuk melihat, dan lidahnya yang ia pakai untuk berbicara, dan tangannya yang ia pakai untuk berbuat dan kakinya yang ia pakai untuk berjalan/berusaha. Maka dengan Akulah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, berbuat dan berjalan.”
Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia perlu untuk senantiasa beriman dan beramal shalih untuk mencapai kondisi fithrahnya, yakni ahsani taqwim (bentuk yang sebaik-baiknya)
“Sesungguhya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Lalu kami kembalikan mereka ke bentuk yang seburuk-buruknya. Kecuali orang-orang yang berbuat baik…” (QS 90(AT-TIN):4-6)
Di antara ciri-ciri manusia sempurna (insan kamil) adalah mereka yang menyadari kehadiranNya di segala ruang dan waktu dengan kesadaran yang diliputi Cinta dan Kerinduan yang menyala kepadaNya.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
9) Ajaran nabi Muhammad saw. memiliki argumen-argumen yang kuat tentang kebenaranNya, kebenaran kenabian, dan kebenaran Hari Akhir.
“Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.” (QS 36(YASIN):81)
“Bertasbih kepada apa-apa di langit dan bumi dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Miliknya kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Dialah Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Mengetahui segala sesuatu.”
(QS 57(AL-HADID):2-3)
“Dialah Allah yang tiada tuhan melainkan Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.” (QS 59(AL-HASYR):22)
“Awal agama adalah pengenalanNya. Dan kesempurnaan pengenalanNya adalah pembenaranNya. Dan kesempurnaan pembenaranNya adalah pengEsaanNya. Dan kesempurnaan pengEsaanNya adalah ikhlas kepadaNya. Dan kesempurnaan ikhlas kepadaNya adalah penafian sifat atasNya. Dengan penyaksian bahwa setiap sifat bukanlah yang disifati. Dan penyaksian bahwa yang disifati bukanlah sifat itu sendiri: maka barangsiapa menyifati Allah maka dia telah membayangkanNya. Dan barangsiapa membayangkanNya maka telah menduakanNya. Dan barangsiapa menduakanNya maka dia tidak tahu tentangNya. Dan barangsiapa tidak tahu tentangNya maka dia telah menunjukNya. Dan barangsiapa menunjukNya maka dia telah membatasiNya. Dan barangsiapa membatasiNya maka dia telah menghitungNya. Barangsiapa berkata di dalam apakah Ia maka ia telah mengatakan bahwa Dia dikandung sesuatu, barangsiapa berkata di atas apakah Ia maka ia telah mengosongkan sesuatu dariNya, Dia ada tanpa bermula dan maujud tanpa berasal dari ketiadaan, bersama segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan (kedekatan fisik), dan bukan segala sesuatu namun tidak dengan keterpisahan. Dia adalah Pelaku namun tidak dengan makna gerak dan alat.”
“Ya Allah! Sesungguhnya aku bermohon kepadamu
dengan RahmatMu yang meliputi segala sesuatu
dan dengan kekuasaanMu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu
dan karenaNya merunduk segala sesuatu
dan karenaNya merendah segala sesuatu
dengan kemuliaanMu yang mengalahkan segala sesuat
dengan kekuatanMu yang tak tertahankan oleh segala sesuatu
dengan kebesaranMu yang memenuhi segala sesuatu
dengan kekuasaanMu yang mengatasi segala sesuatu
dengan wajahMu yang kekal setelah punah segala sesuatu
dengan asmaMu yang mencakup segala sesuat
dengaan cahaya wajahMu yang menyinari segala sesuatu
Wahai Nur, Wahai Yang Mahasuci!
Wahai Yang Awal dari segala awal!
Wahai Yang Akhir dari segala akhir!”
“Dialah yang mengutus rasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas setiap agama dan cukuplah Allah saksinya.” (QS 38(AL-FATH):28)
“Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,” dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.””
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri…” (QS 33(AL-AHZAB):6)
“Orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS 13(AR-RA’D):7)
“Maka takutilah neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Disiapkan untuk orang-orang kafir.”
(QS 2(AL-BAQARAH):24)
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.”
(QS 76(AL-INSAN):4)
10) Ajaran nabi Muhammad saw. adalah ajaran yang sesuai dengan cara manusia belajar dan sesuai dengan kadar akal mereka. Sebagai contoh, al-Qur’an tidak hanya mengajak manusia melakukan pembuktian rasional filosofis tentang KeberadaanNya, KetunggalanNya dan Sifat serta WujudNya Yang Suci dari segala kekurangan. al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mentafakuri fakta-fakta alamiah yang dapat dilihat oleh semua manusia , baik dengan cara berfikir yang paling sederhana hingga para ilmuwan yang menggunakan alat observasi yang canggih dan metoda analisa yang kompleks dalam mencapai kesadaran Ilahiah.
“Tidakkah mereka perhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?”
(QS 88(AL-GHASYI’AH):17-20)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS 3(ALI IMRAN):190)
Al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mempelajari narasi-narasi historis dan mengambil pelajaran darinya. Sebagian besar manusia memahami kebenaran, dan menghayati kebenaran, melalui narasi-narasi. Dan tentu sejarah adalah narasi yang memiliki nilai kebenaran amat tinggi, karena berdasar pada realitas yang benar-benar terjadi.
“Dan bagi setiap umat saat tertentu. Maka apabila datang saat mereka, mereka tidak menunda sesaatpun atau mempercepat.” (QS 7(AL-A’RAF):34)
“…Setiap umat akan dipanggil ke catatannya…”
(QS 35(AL-JATSIYAH):28)
“…Kami jadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka…” (QS 6(AL-AN’AM):1-8)
“… Dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azabKu” (QS 40(AL-MU’MIN):5)
“Wahai manusia! Sesungguhnya yang mengumpulkan manusia adalah setuju dan tidak setuju. Dan sesungguhnya yang membunuh unta Tsamud adalah satu orang, tapi Allah menghukum mereka semua ketika mereka setuju dengannya. Maka Dia (Allah) swt. berfirman: “Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal.”(QS 26(ASY-SYU’ARA’):157)”
11) Untuk menjamin keberlanjutan dan keterpeliharaan kemurnian agamanya, nabi Muhammad saw. meninggalkan dua hal yang terjamin keberlanjutan dan keterpeliharaan kemurniannya, yaitu:
“Rasulullah saw. Berkata: sesungguhnya telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, salah satunya lebih besar daripada yang lain yaitu Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai sebuah tali yang menghubungkan langit dan bumi serta itrahku Ahlul Baitku. Mereka tidak akan berpisah sampai bertemu di telaga al-haudh.”
Kitab Allah, al-Qur’an, merupakan kitab yang terpelihara, seperti yang akan dijelaskan dalam salah satu mukjizat Rasulullah saw.. Sama sekali tidak ada perubahan dalam kitab tersebut. Ini menjamin keberlanjutan agama nabi Muhammad saw. terus ada sampai sekarang dan nanti. Tetapi, walaupun kitab tersebut tidak dirubah, tetap ada upaya-upaya penyelewengan pada agama nabi Muhammad saw.. Karena itu, diperlukan sesuatu yang dapat menyampaikan ajaran yang sesuai dengan ajaran asli secara langsung kepada manusia, dengan bahasa manusia, dan penjelasan yang lebih detil. Karena itu, Rasulullah saw. meninggalkan perkara kedua, yaitu ‘Itrah Ahlul-Baytnya. Hal ini juga diungkapkan dalam sabda Rasulullah saw. yang lain:
“…Rasulullah saw. berkata: Agama akan terus tegak sampai dengan 12 khalifah dari Quraisy. …”
“Barangsiapa aku pemimpinnya, maka ‘Ali pemimpinnya”
12) Memberikan pandangan hidup dan pandangan dunia yang lengkap bagi manusia, sehingga manusia benar-benar memahami tentang dirinya, semesta lahir, realitas batin dan Tuhan serta alam-alam tak kasat indera, juga memahami posisinya dalam perjalanan segenap semesta menuju kesempurnaan alamiahnya masing-masing, dan juga memahami apa saja yang baik dan terbaik, apa saja yang benar dan paling benar, apa saja yang indah dan terindah bagi dirinya dalam bertindak dan berperilaku dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya fithrahnya. Pandangan dunia seperti ini tentu setidaknya memberikan suatu jawaban terhadap realitas alam seperti langit, bumi, galaxy, makhluk hidup, lautan, dsb. Juga realitas adialami seperti malaikat, realitas-realitas tak kasat indera, seperti jin, realitas sosial, politik, hukum maupun realitas jiwa manusia itu sendiri secara lengkap dan memuncak.
13) Ajaran nabi Muhammad saw. menyampaikan kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik dan peringatan bagi orang-orang yang berbuat tidak baik.
“Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka surga, mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tiap kali mereka diberi rizki buah-buahan darinya, mereka berkata, “Ini rizki mirip dengan yang telah diberikan kepada kami sebelumnya.” Dan untuk mereka di sana istri-istri yang disucikan dan mereka kekal di dalamnya.” (QS 2(AL-BAQARAH):25)
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin dan orang-orang Yahudi dan orang Nasrani dan para Shabi’in barangsiapa percaya (beriman) dengan Allah dan hari akhir dan berbuat baik maka bagi mereka balasan di sisi Tuhan mereka dan tiada takut atas mereka dan tiada bersedih pula.” (QS 2(AL-BAQARAH):62)
“Maka siapa berbuat sekecil atom maka kebaikan menemuinya. Dan siapa berbuat sekecil atom maka keburukan menemuinya.” (QS 99(AL-ZALZALAH):7-8)
“Dan bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua surga. Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang akan kaudustakan?” (QS 55(AR-RAHMAN):46-47)
14) Memberikan suatu petunjuk yang jelas tentang kepemimpinan masyarakat Ilahiah, karena tidak mungkin suatu masyarakat yang baik dan utama terwujud tanpa pimpinan baik dari sisi otoritas keagamaan, sosial politik maupun kepemimpinan batiniah terdalam masyarakat manusia (esoterik) dalam mencapai kesempurnaan realitasnya. Kepemimpinan (Imamah) merupakan satu keharusan untuk menjaga kemurnian agama, menegakkan agama dan memastikan bahwa agama benar-benar menjadi cahaya yang menerangi kehidupan masyarakat dan membawa masyarakat ke arah kesempurnaanya. Hal ini juga ditegaskan oleh para pemikir seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Abu Muhammadi bin Hazm al-Andalusi dalam al-Fishal fi al-Milal, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, al-Jazairy dalam al-Fiqh ‘ala al- Madzahib al-Arba’ah, al-Muhaqqiq al Karky dalam al-Jawahir, Aayatullah al Burujurdy dalam al-Badr al-Zahir, Ayatullah Khomeiny dalam Kitab al-Bay’.
al-Qur’an menyebutkan
“Sesungguhnya wali kamu itu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman dan mendirikan shalat, dan membayar zakat ketika mereka ruku’.” (QS 5(AL-MA’IDAH):55)
Kitab-kitab tafsir, baik Sunnah maupun Syi’ah, menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Pada suatu hari, Ali sedang di masjid. Seorang Muslim datang ke masjid Nabi untuk meminta bantuan. Ali memberi isyarat dengan telunjuknya. Orang itu mengambil cincin Ali ketika Ali masih dalam keadaan ruku’. Allah memuji perilaku Ali itu dan menurunkan ayat ini. Ayat ini terkenal sebagai ayat wilayah.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menceritakan hal ini adalah Tafsir Ibn katsir, Tafsir al-Thabary, Tafsir al-Jashash, Tafsir al-Baghawy, Tafsir al-Qurthuby, Tafsir al-Razy, Tafsir al-Baydhawy, Tafsir al-Nasafy, Tafsir al-Khazin, Tafsir al-Nisabury, Tafsir al-Suyuthy, Tafsir al-Alusy, Tafsir al-Zamakhsyary, Tafsir al-Manar.
Hadits al-Ghadir yang terkenal sahih dan mutawatir, meriwayatkan sabda Nabi:
“Barangsiapa menganggap aku sebagai maulanya, maka harus pula menganggap Ali sebagai maulanya.”
Rasulullah saw. demikian jelas menunjukkan kepada ummatnya bahwa kepemimpinan setelahnya adalah di tangan Imam ‘Ali bin Abi Thalib ‘a.s. dan sebelas keturunan Rasulullah saw. melalui Imam’Ali bin Abi Thalib ‘a.s dan putri Rasulullah Sayyidah Fathimah ‘a.s.
“J?bir ibn Samurah: pada ‘Isya Jum’at ketika Aslami dirajam aku dengar Rasulullah saw berkata: Agama ini akan terus langgeng sampai tiba as-S?’ah atau duabelas khalifah memimpin kamu, semuanya dari Quraisy.”
“Jabir ibn Samurah: Aku dengar Nabi saw. berkata: urusan manusia akan terus berlanjut selama dua belas orang memimpin mereka. Kemudian Nabi saw. berkata sesuatu yang tidak jelas kepada saya. Saya bertanya kepada ayahku, “apa yang Nabi saw. katakan?” Dia berkata: “Seluruhnya dari Quraisy.”
“Imam al-Baqir: Rasulullah saw. bersabda: diantara anak-anakku ada dua belas pionir(pemimpin) yang merupakan nujab?’, muhaddats, dan mufahham. Yang terakhir dari mereka adalah Qa’im yang benar yang akan menyebarkan keadilan di seluruh dunia setelah dunia dipenuhi penindasan.”
“Jabir bin ‘Abdullah al-Anshar?: Ketika aku masuk ke (rumah) Fathimah as., di depannya ada gumpalan berisi nama-nama wasi dari anak-anaknya. Aku menghitungnya ada dua belas, salah satunya Q?’im, tiga diantaranya Muhammad, dan empat diantaranya ‘Ali.”
“Jabir bin ‘Abdullah al-Anshar?: ketika Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan kepada Nabi saw. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamuAku berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah tahu Allah dan Rasulnya. Maka siapakah ulil amri yang taat kepadanya diletakkan di samping taat kepadamu?” Rasulullah saw. berkata: “Mereka penggantiku wahai Jabir, dan pemimpin (Imam-Imam Kaum) Muslimin setelahku. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian ‘Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin ‘Ali yang dikenal dalam Taurat sebagai al-Baqir, Wahai Jabir! Kamu akan bertemunya. Maka kapanpun kamu bertemu dengannya maka sampaikanlah salam dariku kepadanya. Kemudian ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin ‘Ali, kemudian yang bernama sama dengan aku, Hujjah Allah di bumi dan yang tersisa dari hamba-hambaNya (baqiyyatuhu), adalah anak Hasan bin ‘Ali. Dialah yang Allah bukakan timur dan barat untuknya. Yang akan disembunyikan dari pengikutnya dan pecintanya dan pada waktu itu tidak ada orang yang tetap percaya Imamahnya kecuali orang-orang yang hatinya disucikan Allah untuk Iman.”
Tentang keparipurnaan pribadi Nabi Muhammad saw.serta bagaiman pengaruh konstruktif ajaran Beliau saw.mengubah ummatnya, Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif menuliskan :
Iqbal pernah mencoba melukiskan kebesaran Nabi Muhammad saw. dengan kata-kata:

Sungguh, hati Muslim dipatri cinta nabi
Dialah pangkal mulia
Sumber bangga kita di dunia
Dia tidur di atas tikar kasar
Sedang Umatnya mengguncang tahta Kisra
Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga
Sedang umatnya tidur di ranjang raja-raja
Di gua Hira ia bermalam
Sehingga tegak bangsa, hukum dan negara
Di medan perang, pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu dunia dengan kunci agama
Duhai, belum pernah insan melahirkan putra semacam dia
Bukan hanya Iqbal dan pujangga-pujangga Muslim saja. Thomas Carlyle, Toynbee, Michael Hart, Will Durant adalah sebagian kecil di antara “orang-orang kafit” yang berusaha juga berkisah tentang manusia besar ini. Marilah kita ambil contoh lukisan orang lain tentang Muhammad. Dalam sebelas rangkaian “Kisah Peradaban” (The Story of Civilization), Will Durant berkisah tentang Muhammad saw. Tentu, seperti kebanyakan pengamat Barat tentang Islam, pandangannya tentang Rasulullah tidaklah bersih dari prasangka dan kebodohan. Will Durant menutup riwayat Nabi Muhammad seperti ini:
Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, maka ia adalah satu di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Ia telah berusaha meningkatkan tingkat ruhani dan moral suatu bangsa yang dicengkeram kebiadaban karena panas dan ketandusan Sahara. Ia lebih berhasil dibanding setiap pembaru mana pun. Begitu jarang orang bisa mewujudkan mimpinya sepenuh dia. Ia mencapai tujuannya melalui agama, bukan saja karena ia sendiri beragama, melainkan karena tidak ada medium lain yang dapat menggerakkan orang Arab waktu itu.
Disentuhnya daya khayal mereka, takut dan harap mereka, dan ia berbicara dengan bahasa yang bisa mereka pahami. Ketika ia datang , Arabia adalah padang pasir yang dihuni para penyembah berhala; ketika ia mati, Arabia adalah suatu umat,… Ia tegakkan agama yang sederhana, jelas, dan kuat. Suatu akhlak yang memiliki keberanian luar biasa dan menjadi kebanggaan, yang dalam satu generasi bergerak menuju ratusan kemenangan. Dalam satu abad satu kerajaan besar. Bahkan sampai saat ini umatnya tetap menjadi kekuatan dahsyat meliputi setengah dunia.
Will Durant adalah penulis yang produktif, tetapi apakah tulisannya tentang Muhammad sudah lengkap? Iqbal adalah filsuf dan sekaligus penyair, tetapi apakah Muhammad telah dicerminkan sempurna dalam untaian sajaknya? Al-Barzanji menghabiskan usianya untuk menggubah syair tentang Muhammad, tetapi apakah ia berhasil menggambarkan semua kebesaran Rasulullah saw.? jawabnya, tidak. Manusia besari ini mempunyai pribadi yang menembus berbagai aspek kehidupan. Ia menghimpun semua unsur peradaban besar dalam dirinya. Karena itu, merintihlah Dr. Ahmad Muhammad al-Hufy sebelum menulis Min Akhlaq an-Nabiy, “Ya Rasulallah, Junjunganku? Apakah kata-kata yang tak berdaya ini mampu mengungkapkan ketinggian dan keluhuranmu? Apakah penaku yang tumpul ini dapat menggambarkan budi pekertimu yang mulia? Bagaimana mungkin setetes air akan sanggup melukiskan samudera yang luas? Bagaimana mungkin sebutir pasir akan mampu menggambarkan gunung yang tinggi? Bagaimana mungkin sepercik cahaya akan dapat bercerita tentang matahari? Sejauh yang dapat dicapai oleh sebuah pena, hanyalah isyarat tentang keluhuran martabatmu, kedudukanmu yang tinggi dan singgasanamu yang agung.?
Karena itu, banyak ahli hanya mengambil satu aspek saja dari kehidupan Nabi Muhammad saw..
Tulisan ini berkenaan dengan kepemimpinan rasulullah. Tetapi Nabi Muhammad adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, juga di medan pertempuran. Ia tampak seperti seorang psikolog yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan peradaban. Tetapi ia juga kelihatan seperti seorang sosiolog yang bukan saja menyembuhkan berbagai masalah sosial, melainkan juga menegakkan.
Penulis lain, Michael Hart , menuliskan dalam bukunya “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah” sebagai berikut:
Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.
Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agam Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.
Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan termpat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhammad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.
Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali menyembah berhala. Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empat puluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.
Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.
Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik pentung bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya mulai makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mekkah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua tahun setengah dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luarbiasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agam Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif.
Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalamdaftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya.
Pertama, Muhammad memainkan peranna jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristern, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.
Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia “pencatat” Kitab Suci Al-Qur’an, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Qur’an dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan.
Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena al-Qur’an bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan al-Qur’an teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata-mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.
Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.
Dari berbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan.
Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan.
Ini jelas menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral al-Qur’an di kalasngan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke-13.
Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi – tentu saja – dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973-1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.
Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah umat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.
Satu tatanan sosial yang menakjubkan. Ia juga seorang politikus yang mempersatukan suku-suku bangsa hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang mengantarkan jiwa pengikutnya ke kelezatan samawiah dan keindahan ilahiah. Ia juga pemimpin kaum wanita, yang mengangkat kaum lemah ini dari sekedar pemuas nafsu menjadi manusia yang “di bawah telapak kakinya ada surga”. Ia juga pemimpin kaum fuqara’ dan masakin, hamba sahaya, dan kaum dhu’afa’.
* * *
Referensi :
1. Lihat Prophethood for Teens bukti (10d)
2. Al-majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, al-Ah?dits al-Qudsiyyah, Kairo, 1983, pp. 81-84, rujuk kepada Dr. M. Wildan Yahya, M.Pd., Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi, Pt. Refika Aditama, Bandung, 2007, pp.42. Hadits Qudsi ini juga dirujuk di 40 Hadits karya Sayyid Ruhullah al-Musawi Khomeini, dan Misykat al-Anwar ( kumpulan hadits Qudsi karya Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi)
3. Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, Khutbah 1, pp. 21
4. Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2, Khutbah 201, pp. 133
5. Imam Ahmad bin Hambal , Musnad Ahmad, Beirut, juz 3, pp. 26, Ahlulbayt Library 1.0
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Beirut, juz 5, pp. 86, Ahlulbayt Library 1.0
Sunan al-Kibari no. 8145, dari An-Nasa’I , Sunan al-Kibari, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah , Beirut, 1992, juz 5, pp. 45
Lihat misalnya dalam “Manusia dan Agama” karya Syahid Muthahhari, Hikmah Islam karya Sayyid Thabathabai, dan al-Hikmah al-‘Arsyiyyah karya Mulla Shadra
6. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz 5, no. 3797, D?r al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-nasyr wa al-tauzi’, Beirut, 1983, juz 5, pp. 297, Ahlul Bayt Library 1.0, book number 1739 dan Sunan al-Kibari no. 8145, dari An-Nasa’I, Sunan al-Kibari, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992, juz 5, pp. 45
7. Shahih Muzlim:3/1453/10, Musnad Ibnu Hambal:7/410/20869. Rujuk kepada Muhammadi Rayshahri, The Image of the Holy Prophet’s Household (ahl al-Bayt) In The Qur’?n and Had?th, Dar al-Hadith, Qum, 2002, pp.61
Shahih Muslim:3/1452/6, al-Khish?l/473/27. Rujuk kepada Muhammadi Rayshahri, The Image of the Holy Prophet’s Household (ahl al-Bayt) In The Qur’?n and Had?th, Dar al-Hadith, Qum, 2002, pp.61
8. Al-K?f ?:1/534/18. Rujuk kepada Muhammadi Rayshahri, The Image of the Holy Prophet’s Household (ahl al-Bayt) In The Qur’?n and Had?th, Dar al-Hadith, Qum, 2002, pp.61
9. al-Kafi:1/532/9, Miraah al-‘Uqul:6/227/9. Rujuk kepada Muhammadi Rayshahri, The Image of the Holy Prophet’s Household (ahl al-Bayt) In The Qur’?n and Hadith, Dar al-Hadith, Qum, 2002, pp.61
10. QS 4(AN-NISA’):59
11. Kamal al-din:253/3,: 1/282, Ta’wil al-Ayah al-Dzahirah:141
12. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Mizan, 1999, Bandung, 77
13. Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 2002, pp. 15-17