Sabtu, 06 November 2010

Islam Agama Silaturahim

ISLAM AGAMA SILATURAHIM

Menurut para ulama, Islam merupakan agama yang menjadikan SILATURAHIM (bukan SILATURAHMI sebagaimana yg sering kita dengar banyak dipakai secara salah kaprah oleh masyarakat kita) sebagai hal yang sangat penting sekal, Bahkan ada seorang ulama yang mengatakan SILATURAHIM merupakan jantungnya agama Islam.

Mengapa yang benar itu SILATURAHIM dan bukan SILATURAHMI? Ditinjau secara morfologi atau cabang ilmu Linguistik yang mempelajari tata kata, baik kata SILATURAHIM maupun SILATURAHMI terbentuk dari kata yang sama yaitu SHILAH yang artinya menyambungkan. Yang membedakan keduanya adalah akhiranya. Yang satu kata RAHIM sedangkan yang satu lagi RAHMI. Dalam bahasa Arab, kedua kata ini berbeda artinya. Kata RAHIM artinya kasih sayang (ingat: ALLAH SWT mempunyai sifat Ar Rahim, Yang Maha Penyayang). Sedangkan kata RAHMI mempunyai arti “rasa nyeri yg timbul (dan diderita sang ibu) pada saat melahirkan”. Dengan demikian kata SILATURAHIM = penyambung kasih sayang, sedangkan SILATURAHMI= penghubung uterus (tali pusar yg menghubungkan ibu dan anak). Sangat berbeda sekali maknanya bukan?

Beberpa bukti bahwa Islam merupakan agama SILATURAHIM, misalnya bisa dilihat dari anjuran Rasululloh SAW (minimal) kepada kaum pria agar melakukan sholat berjamaah di masjid. Dengan melakukan sholat berjamaah di masjid akan menciptakan kondisi setiap hari antar sesama muslim dalam suatu kawasan (RT atau RW atau tetangga dekat) saling bertemu melakukan ibadah yg serupa. Karena bisa saling bertema tentunya mereka pun akan berkomunikasi, Jika sering terjalin komunikasi maka ujung2nya hubungan kasih sayang dan kekeluargaan antar sesama mereka.. Saat ada seorang jamaah yang tidak hadir, akan terasa kita akan merasa kehilangan seorang anggota ‘keluarga’, ini artinya dalam diri kita telah tumbuh rasa kasih sayang kepada jamaah ybs.

Pada hari Jum’at, kaum pria mesti menghadiri Jum’atan. Di hari itu, acara SILATURAHIM yang terjadi lebih besar, karena tidak saja tetangga dekat yang hadir, bisa jadi ada saudara dari beda rw yang ikut hadir di masjid. Selain itu, akan banyak hadir tetangga dekat yang jarang kita temui pada saat sholat berjamaah. Dengan demikian, scoop (ruang lingkup) dari SILATURAHIM menjadi lebih besar.

Tingkatan SILATURAHIM yang diajarkan Islam tidak berhenti pada level ini. Masih ada event lain yang mengajak kita untuk MEYAKINI bahwa Islam adalah agama yang SEMPURNA yakni event SHOLAT ‘IED, baik ‘Iedul Fitri ataupun ‘Iedul Adha. Kaum muslimin/muslimat akan berbondong-bondong hadir di satu tempat yang luas, dan bisa menampung ratusan bahkan ribuan umat untuk bertemu dan saling mengenal dan bersilaturahim.

Kemudian tingkatan akhir dari SILATURAHIM yang diajarkan Islam adalah HAJI. Pada musim haji, JUTAAN manusia DARI SELURUH DUNIA BERKUMPUL. Kita akan bertemu dengan saudara muslim dari Amerika, Inggris, Perancis, juga dari Afrika, Mesir, Iran, Soviet, dst dst (tentu saja dengan Arab) dengan keunikan dari masing-masing individu dan kebudayaan mereka. Di saat inilah, akan terasa bahwa betapa Islam adalah agama yang TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN RAS, JABATAN, KEDUDUKAN, DST DST. Yang membedakan manusia hanyalah TINGKAT KETAQWAANNYA.

Fiqih Islam

Fiqih Islam


PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)

dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Wallahu A’lam .

Faedah puasa Daud

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash bahwa dia pernah mengabari Rasulullah saw dan beliau saw pun berkata kepadanya,”Sholat yang paling disukai Allah adalah sholat Daud dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud. Dia (Daud) tidur seperdua malam, bangun di sepertiganya, tidur lagi di seperenamnya dan berpuasa sehari serta berbuka sehari.” (HR. Bukhori)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash berkata,”Aku memberitahu Rasulullah saw bahwa aku mengatakan,’Demi Allah aku akan puasa sepanjang siang dan sholat sepanjang malam seumur hidupku.’ Maka Rasulullah saw berkata kepadanya,’Apakah kamu yang mengatakan,’Demi Allah aku akan berpuasa sepanjang siang dan sholat sepanjang malam seumur hidupku.’ Aku mengatakan,’Sungguh aku yang mengatakannya.’ Beliau bersabda,’Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup untuk itu maka berpuasalah dan berbukalah, sholat malamlah dan tidurlah. Berpuasalah tiga hari dalam sebulan maka sesungguhnya suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang sepertinya dan hal itu seperti berpuasa sepanjang masa.’ Aku mengatakan,’Sesungguhnya aku sanggup melakukan yang lebih dari itu wahai Rasulullah.’ Beliau saw bersabda,’Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari.’ Aku mengatakan,’Sesungguhnya aku sanggup melakukan yang lebih dari itu.’ Beliau bersabda,’Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari. Ini adalah puasa Daud dan ini puasa yang paling baik.’ Aku mengatakan,’Sesungguhnya aku sanggup melakukan yang lebih dari itu wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda,’Tidak ada yang lebih utama darinya.” (HR. Bukhori)

Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah bagaimana anda berpuasa?’ maka Rasulullah saw pun marah terhadap perkataan oang itu. Tatkala Umar melihat hal itu, dia berkata,’Kami telah rela Allah sebagai Tuhan kami, islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai nabi kami. Kami berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah da kemarahan Rasul-Nya.’ Kemudian orang itu berkata,’Wahai Rasulullah bagai dengan orang yang berpuasa sepanjang masa?’ Beliau bersabda,’Tidak ada puasa dan tidak ada berbuka.’—Musaddad berkata (terhadap kalimat ini),”Tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.’ Atau,’tidak berpuasa dan tidak berbuka.’ disini Ghoilan merasa ragu—. Orang itu berkata lagi,’Wahai Rasulullah bagaimana dengan orang yang berpuasa dua hari dan berbuka sehari?’ beliau saw bersabda,’adakah orang yang menyaggupi hal itu?’ Orang itu berkata,’Wahai Rasulullah bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari.’ Beliau saw menjawab,’itu adalah puasa Daud.’ Orang itu berkata,’Wahai Rasulullah bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka dua hari.’ Dia berkata lagi,’aku berharap bahwa aku menyanggupinya.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda,’(berpuasa) tiga hari dalam sebulan dan dari ramadhan hingga ramadhan maka ini (sama) dengan berpuasa sepanjang masa. Berpuasa pada hari arafah dan aku meyakini bahwa disisi Allah hal ini akan menghapuskan (dosa) setahun sebelumnya.” (HR. Abu Daud)

Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa hadits ini adalah nash tentang berpuasa sehari dan berbuka sehari lebih utama dari berpuasa sepanjang masa. Dan seandainya berpuasa sepanjang masa itu disyariatkan dan dianjurkan maka pasti ia akan banyak dilakukan sehingga menjadi yang paling utama..

Beliau juga mengatakan bahwa Rasulullah saw telah mengabarkan,”Bahwa puasa yang disukai Allah adalah puasa Daud dan sholat malam yang disukai Allah adalah sholat malam Daud.’ Dan beliau saw mengabarkannya sekaligus kemudian beliau saw menafsirkannya,”Dia (Daud) tidur seperdua malam, bangun pada sepertiganya, dan tidur lagi pada seperenamnya. Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Bukhori Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa Allah menyukainya karena sifat ibadah tersebut. Di sela-sela puasa dan sholat malamnya terdapat istirahat yang dengannya akan menguatkan badan dan membantunya untuk menunaikan hak-haknya. (Aunul Ma’bud juz VII hal 56)

Al Hafizh mengatakan bahwa sekelompok ulama termasuk al Mutawalli dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa puasa Daud lebih utama adalah sesuatu yang tampak jelas didalam hadits tersebut. Dan dari segi artinya juga menunjukkan hal demikian karena puasa sepanjang masa terkadang mengabaikan berbagai hak-haknya dan siapa yang terbiasa dengannya maka ia akan memberatkannya bahkan melemahkan keinginannya untuk makan, tidak terlalu berminat untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan dan minuman di siang hari dan akan memenuhi kebutuhan makan dan minumnya di malam hari sehingga menambah kebiasaan baru yang berbeda dengan orang yang puasa sehari dan berbuka sehari karena puasa ini memindahkannya dari berbuka kepada puasa dan dari berpuasa kepada berbuka. (Tuhfatul Ahwadzi juz III hal 312)

Adapun faedah dari puasa Daud tidaklah berbeda dengan faedah dari puasa-puasa lainnya sebagaiman telah banyak dibahas dan dikaji oleh banyak pakar kesehatan yang bersumber dari hadits Rasulullah saw,”Berpuasalah kalian maka kalian (akan) sehat.” (HR. Thabrani)

Sedangkan keutamaannya, sebagaimana diutarakan oleh Rasulullah saw bahwa puasa Daud adalah puasa yang paling utama. Ia lebih utama dari pada puasa tiga hari dalam sebulan yang pahalanya seperti puasa sepanjang masa. Ia lebih utama juga dari puasa arafah yang ganjarannya adalah dihapuskan seluruh dosa kecilnya selama setahun sebelumnya. Meskipun tidak dijelaskan secara definif didalam hadits-haditsnya tentang ganjaran yang Allah sediakan bagi orang yang melakukan puasa Daud ini.

Rabu, 03 November 2010

sholat Jamak

Islam adalah agama Allah swt yang banyak memberikan kemudahan kepada para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah swt :

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqoshor (dipotong).

Adapun jawaban dari beberapa pertanyaan yang anda ajukan adalah sebagai berikut :

1. Mengerjakan sholat dengan cara dijama’ atau diqoshor ini didapat dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Muadz bahwasanya pada suatu hari Nabi saw pernah mengakhirkan sholat di waktu peperangan Tabuk kemudian berliau saw pergi keluar dan mengerjakan sholat zhuhur dan ashar secara jama’. Setelah itu beliau saw masuk kemudian keluar dan mengerjakan sholat maghrib dan isya secara jama’.” Sedangkan dalil untuk sholat dengan cara diqoshor adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud dan baihqi dari Yahya bin Yazid, ia berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqoshor sholat. Ia menjawab, Rasulullah saw mengerjakan sholat dua rakaat jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”

2. Jama’ (merangkap) dua sholat baik antara zhuhur dengan ashar maupun maghrib dengan isya bukanlah suatu kewajiban akan tetapi disunnahkan manakala ada salah satu dari beberapa persyaratannya.

3. Sebagaimana poin no 2 bahwa, seseorang diperbolehkan merangkap (menjama’) shalat zhuhur dengan ashar baik dengan cara taqdim (dikerjakan di waktu zhuhur) maupun dengan cara ta’khir (dikerjakan diwaktu ashar) atau menjama’ antara sholat maghrib dengan isya baik dengan cara taqdim maupun ta’khir apabila ada salah satu sebab diantara perkara berikut ini :

a. Menjama’ di Arafah dan Muzdalifah; para ulama sependapat bahwa sunnah menjama’ sholat zhuhur dan ashar dengan cara jama’ taqdim pada waktu zhuhur di Arafah, begitu juga antara sholat maghrib dan isya dengan cara ta’khir di waktu isya di Muzdalifah, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah saw.

b. Menjama’ didalam bepergian; menjama’ dua sholat ketika bepergian pada satu waktu dari kedua sholat itu, menurut sebagian besar ulama, adalah diperbolehkan tanpa ada perbedaan apakah dilakukan pada saat berhenti ataukah dalam perjalanan.

c. Menjama’ diwaktu hujan; Imam Bukhori meriwayatkan bahwa “Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.” Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang mengerjakan sholat berjama’ah di masjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya, hal itu menjadi penghalang dalam perjalanan. Adapun bagi orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid atau orang yang mengerjakan sholat jama’ah di rumah, atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuh, ia tidak boleh menjama’.

d. Menjama’disebabkan sakit atau uzur; sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad, Qodhi Husein, al Khottobi, Mutawalli dari golongan Syafi’i dikarenakan kesukaran di waktu sakit lebih besar daripada kesukaran di waktu hujan.

e. Menjama’ disebabkan adanya keperluan; Imam Nawawi mengatakan bahwa beberapa Imam membolehkan jama’ kepada orang yang tidak musafir apabila ia ada suatu kepentingan dengan syarat hal itu tidak dijadikannya kebiasaan. Ini juga pendapat Ibnu Sirin dan Asuhab dari golongan Maliki. Menurut al Khottobi bahwa ini juga pendapat dari Qoffal dan asy Syasyil Kabir dari golongan Syafi’i juga dari Ishaq Marwazi dan dari jama’ah ahli hadits.

4. Menjama’ bukanlah suatu kewajiban namun ia hanyalah keringanan yang disunnahkan bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya. Dengan demikian apabila seseorang tidak mengambil keringanan ini atau menjama’ antara dua sholat baik dengan cara taqdim atau ta’khir maka hal itu dipebolehkan dan tidak ada dosa baginya.

5. Adapun sholat qoshor atau dengan memotong jumlah raka’at, sholat zhuhur, ashar dan isya menjadi dua rakaat sedangkan sholat maghrib tetap dilakukan dengan tiga rakaat. Anda dapat melakukan sholat dengan cara qoshor baik antara zhuhur dengan ashar atau antara maghrib dengan isya ketika anda melakukan suatu perjalanan yang mencapai jarak tempuh 16 farsakh (81 km) sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Anda pun diperbolehkan memilih antara mengerjakan sholat dengan cara qoshor atau jama’ ketika anda berada didalam suatu perjalanan yang mencapai jarak tersebut.

6. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khottob bahasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niat dan bagi sertiap orang hanyalah apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘Alaih). Jadi diterima tidaknya suatu amal seseorang termasuk sholat yang dilakukan baik dengan cara dijama’ atau diqoshor tergantung dari niatnya yang ada didalam hatinya. Niat ini tidak diharuskan dengan kata-kata yang diucapkan dengan lisan atau pun perkataan jiwa akan tetapi ia adalah kebangkitan (keinginan) hati terhadap suatu amal tertentu. Jadi apabila anda hendak melakukan sholat jama’ atau qoshor maka niatnya cukup dengan adanya keinginan didalam untuk melakukan perbuatan tersebut dengan hanya mengharap ridho Allah swt.

(sumber : I. Fiqhus Sunnah, II. Buhuts wa Fatawa Islamiyah, III. Minhajul Muslim)

Budha Merupakan Agama Ilahi

Budha merupakan agama Ilahi

Dalam rentang sejarah, manusia selalu tak pernah lepas dari masalah agama. Ini karena hanya melaluinyalah manusia bisa menyempurnakan wujudnya dan berhubungan dengan Kekasih Sejatinya. Akan tetapi sejarah juga membuktikan bahwa dalam rentang panjang lembarannya, perjalanan manusia menuju puncak kesempurnaannya ini dikotori oleh agama-agama bumi (ardhi) yang ternoda. Agama malah dinodai dan dijadikan ajang untuk memenuhi hawa nafsu dan mencari kedudukan dunia.

Budha pun sepertinya mempunyai nasib yang sama. Sebagian orang berpendapat bahwa Budha adalah salah seorang nabi Allah dan ajaran pertamanya adalah bersumber dari wahyu. Kendati setelah itu ajarannya terjerembab pada kubangan penyimpangan besar. Pandangan ini dapat dikemukakan dalam dua dalil utama, yaitu mengenai Esensi ajaran Buddhisme Kuno dan kesamaan antara ‘Budha’ dengan ‘Bulher dan Yudzasif’.

Sebagian orang berkata bahwa Budha adalah salah seorang nabi Allah dan ajaran pertamanya adalah bersumber dari wahyu. Kendati setelah itu, terjerembab pada kubangan penyimpangan besar. Pandangan ini dapat dikemukakan dalam dua dalil:
Dalil pertama: Esensi Budhisme Kuno

A. Esensi Budhisme kuno

Esensi Budhisme kuno sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan perubahan dan konstruksi filsafat dan tanpa pelbagai enigma yang menimbun rahasia. Menciptakan rahasia, rumusan, kerumitan filsafat dan irfan adalah rekaaan dan kerjaan orang-orang Budha setelahnya.[1] Budhisme adalah membangunkan dan menyadarkan masyarakat. Landasan pertama agama ini berpijak pada menghilangkan penderitaan, kegelisahan personal dan sosial, dan ketenangan lahir dan batin.[2]

Salah satu unsur penting agama adalah kesederhanaannya sedemikian sehingga konsep-konsepnya dengan mudah dapat dipahami secara umum. Tanpa ragu, kita tidak dapat menerima secara lahir agama yang dijejali selaksa konsep yang tidak dapat dipahami, pelik dan membingungkan. Sementara pada saat yang sama ia berbicara kepada seluruh manusia. Gambaran seorang arif yang bertauhid atau seorang filosof rasionalis, mengajarkan agama secara umum, menjuntai dan seluruh orang mampu memahaminya. Bukan dengan bahasa yang jauh dari pemahaman umat. Atas alasan ini, pembawa agama-agama wahyu tidak menjelaskan ajaran-ajarannya dengan metode irfani atau filosofis, melainkan mereka membawa ajaran-ajaran dan makrifat yang dapat diterima oleh fitrah manusia dan dipahami dengan mudah oleh manusia.

Akan tetapi, ucapan yang disebutkan di atas tidak bermakna bahwa agama-agama Ilahi hanya menyoroti masalah permukaan saja. Pada seluruh agama, terpendam maarif yang menjulang dan mendalam. Akan tetapi pembahasan di sini bukanlah masalah kedalaman atau kesubliman sebuah ajaran agama. Budhisme kuno berusaha sedapat mungkin menghindar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis. Budha memilih untuk diam di hadapan pelbagai pertanyaan metafisis dan jarang sekali ia menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini dimana keberadaan ruh dan bagaimana mencapai kebahagiaan, ia tidak dapat mentranformasinya kepada yang lain.[3] Sikap sedemikian dalam menghadapai pelbagai persoalan metafisis adalah sikap yang diharapkan dari sebuah agama Ilahi. Nabi Saw dalam menjawab pelbagai persoalan metafisis seperti ruh memilih sikap seperti ini.[4]

Budhisme kuno meyakini bahwa problema hakiki manusia dalam pembahasan filsafat dan rasionalitas tidaklah ternodai oleh delusi, melainkan dapat disimpulkan pada pelbagai pencerapan dan kecendrungannya. Dan harus dilalui dengan metode praktis sehingga dapat menjinakkan pelbagai kepentingan dan syahwat. Dan terkadang manusia dengan menundukkan pelbagai syahwat ini ia akan meraih keceriaan dan mentari wujudnya akan bersinar terang.[5] Kita lihat bahwa pendekatan semacam ini juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam. Dalam Islam ajaran-ajaran seperti ini juga diangkat adalah bahwa ketika manusia mensucikan jiwanya dari selain Tuhan maka hikmah akan mengalir deras dari hatinya melalui lisannya.[6] Karena itu, bahwa dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut ini maka budhisme kuno dapat disebut sebagai agama Ilahi:

1. Sumber maknawi dan kesiapan Budhisme.[7]

2. Adanya beberapa redaksi dalam kitab suci agama Budha yang menunjukkan bahwa orang-orang Budha adalah orang yang menganut ajaran tauhid secara hakiki.[8]

3. Perjalanan spiritual Budha dari alam material menuju alam wahdah. Dan keluarnya dari alam wahdah untuk menangkap manusia-manusia.[9]

4. Keyakinan terhadap kemustahilan mengenal dzat Tuhan.[10]

5. Keyakinan terhadap tidak langgengnya dunia.[11]

6. Keyakinan terhadap adanya dimensi ruhani pada diri manusia.[12]

7. Keyakinan bahwa dengan kematian ragawi manusia, ia tidak akan binasa[13] dan ruh akan menjalani kehidupan yang baru.[14]

8. Keyakinan bahwa manusia setelah kematian ragawinya, akan melanjutkan kehidupannya dalam bentuk raga mitsali (imaginalis).[15]

Pelbagai ajaran keyakinan Budhisme pada awal kemunculannya:

1. Tuhan dalam ajaran Budha:

Budha sekali-kali tidak pernah berkata-kata tentang dzat TUhan dan tidak menjadikannya sebagai pandangan jawalnya; lantaran ia memandang mustahil untuk dapat memahami kedalaman dzat Tuhan.[16] Banyak riwayat dalam Islam yang dinukil dari para Imam Syiah yang melarang pemikiran dan pembicaraan tentang dzat Tuhan.[17] Budhisme kiwari menghendaki adanya penyingkapan (kasyf) dan mukasyafah (disclosure) terhadap Sang Pencipta Semesta, bukan menetapkan dan berargumen tentangnya.[18]

Ajaran ini memiliki akar pada ajaran-ajaran Budha kuno; karena Budha memandang bahwa kayu (landasan) penalaran tidak mampu menjejakkan kakinya pada domain metafisika. Kita meyakini bahwa akal memiliki izin untuk berpikir dan bernalar pada alam metafisika, akan tetapi konsekuensi dari pemikiran ini menjelma dalam bentuk irfan teoritis (nazhari) dan filsafat: Aku tahu bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang alam non-material. Iya! Dapat mengakses atmosfer non-material hanya dapat dicapai dengan menjadi non-material dan hal itu dapat diperoleh dengan melepaskan dari segala belenggu alam materi. Dan inilah titik common (persamaan) antara ajaran-ajaran Islam – agama terakhir yang diterima Allah Swt – dan ajaran-ajaran kuno Budhisme.

Mengenai hal ini, dalam penggalan redaksi kitab suci Budha kiwari kita menjumpai: "Aku adalah Brahma. Aku adalah Tuhan Mahaagung dan Mahatinggi. Aku tidak terlahirkan dan bukan seorang makhluk. Aku menciptakan semesta. Aku adalah Tuhan alam semesta. Aku dapat mencipta, merubah, mengganti, dan memberikan kehidupan. Aku adalah Bapak dan Tuan segala sesuatu."[19] Redaksi ini seruan yang menawan hati ayat-ayat tauhid bernada merdu hinggap di benak orang yang mendengarnya. Sementara berdasarkan sebagian redaksi lainnya Nirvana (Fa'al maa yasya; artinya Dia melakukan apa saja yang dikehendakinya) yang merupakan entitas sarmadi, tetap, qadim, tanpa masa, tidak mati dan tidak menghuni dunia, kebaikan murni, tunggal, satu-satunya empu kesempurnaan dan tidak terjangkau oleh kehidupan fana.[20]

Akan tetapi kita perhatikan bahwa apa yang disabdakan Budha pendiri Budhisme kuno, berkebalikan dengan yang dikemukakan oleh Budhisme kiwari. Ajaran Budha kuno kuno sekali-kali tidak pernah memandang Budha sebagai Tuhan mutlak dan entitas tanpa batas. Budhisme kuno tidak beriman kepada Tuhan yang bercirikan manusia.[21] Dari sisi lain, pendiri Budha memandang bahwa seluruh fenomena semesta adalah binasa, sirna dan berubah-ubah.[22] Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sifat-sifat yang disebutkan sebelumnya terkait dengan "Brahma" dan "Nirvana" hanya dapat dicocokkan dengan Tuhan yang Esa, sosok Tuhan tidak terkandung pada cakupan pemikiran dan sekali-kali tidak bersifat materi dan tidak terbatas.

2. Semesta dalam ajaran Budha

Budha kuno sedemikan ia memperhatikan dunia sehingga ia tidak memandang dunia selain petunjuk dan baiknya perbuatan manusia. Dalam pandangannya, semesta merupakan sebuah realitas yang transient (berlalu) dan berubah-ubah dimana mengejar dunia hanya menimbulkan kesengsaraan dan menghilangkan ketenangan. Realitas sedemikian tidak layak untuk dijadikan sebagai sandaran hati.[23]

Sementara Imam Ja'far Shadiq As mengilustrasikan berubah-rubahnya dunia sedemikian: "Apabila dunia adalah fana dan tempat lintasan lalu mengapa harus menyandarkan hati kepadanya."[24] Imam Hasan Mujtaba As mengungkapkan realitas dunia dengan ilustrasi yang lain: "Sesungguhnya dunia merupakan tempat segala kesengsaraan dan ujian dan segala yang ada di dalamnya akan binasa."[25]

3. Manusia dalam ajaran Budha

Ajaran Budha kuno menegaskan tentang adanya dimensi ruhani dalam diri manusia. Manusia tidak akan sirna dengan kematian jasmaninya. Melainkan ia akan terrangkum dalam bentuk jasmani baru (mitsali, malakuti) untuk melanjutkan kehidupannya.[26] Budha meyakini keharusan adanya bimbingan (manusia sempurna yaitu seorang nabi) dan kewajiban untuk mengikuti jejaknya. Akan tetapi ia juga meyakini bahwa manusia harus melintasi jalan kesempurnaannya sendiri-sendiri.[27] Karena itu manusia harus mengikuti jejak langkah seorang pembimbing (nabi) untuk dapat melintasi jalan kesempurnaan, kemudian saat ia menaklukkan syahwatnya ia laksana pelita benderang dan menemukan kebahagiaan seutuhnya.[28]

Keyakinan terhadap unsur metafisika pada diri manusia dan kehidupan setelah kematian, juga merupakan kemestian adanya pembimbing dan manusia sempurna untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Demikian juga kemestian adanya kebebasan dalam diri manusia untuk meniti jalan kesempurnaan ini yang merupakan salah satu hal yang pasti dalam agama Islam.

Dengan meninjau secara global ajaran-ajaran Budha kuno, anggapan bahwa ajaran Budha kiwari yang memiliki akar wahyu sangat menarik perhatian dan amat mengherankan.

Karena itulah disebutkan bahwa Budhisme kiwari tidak termasuk sebagai agama monotheisme dengan beberapa dalil dan telah mengambil jarak yang menganga dengan ajaran-ajaran Budha kuno, karena:

1. Meyakini reinkarnasi.[29]

2. Menyembah Budha.[30]

3. Anti rasionalitas dan meyakini sihir, magik dan penguasaaan terhadap setan dan jin merupakan bagian dari keyakinan Budhisme kiwari, sementara Budha memperingatkan pengikutnya terhadap masalah ini.[31]

4. Keyakinan terhadap pembacaan lagu-lagu untuk mengenang masa semasa Budha menjabat di pemerintahan, mengenang setan-setan, tuhan-tuhan dan maujud-maujud rekaan untuk memperoleh pengetahuan yang hanya diciptakan pada angan-angan manusia masa jahiliyah. Budha mengingkari jalan yang ditempuh oleh Budhisme kiwari dan sangat menekankan pada usaha manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan.

5. Menyebarnya konsep-konsep yang tidak jelas, pelik, dan tanpa dasar dalam ajaran Budhisme kiwari. Budhisme kuno tidak memiliki konsep-konsep pelik seperti ini. Ajaran Budha merupakan ajaran yang terang laksana purnama dan mentari. [32]

Dalil kedua: Kisah "Blohar dan Yudzasif" dan pencocokkannya atas "Budha"

Kisah ini pertama kali disebutkan pada kitab Kamal al-Din[33] dan setelah itu pada kitab Bihar al-Anwar[34] serta 'Ain al-Hayat.[35] Allamah Majlisi Ra menempatkan riwayat ini pada bilangan contoh-contoh yang tiada bandingnannya dalam memutus hubungan dengan dunia dan mengetahui segala celanya. Beliau memandang hikmat-hikmat sedemikian menyebabkan terlepasnya manusia dan tidak perlunya mengetahui masalah-masalah seperti materi (matter), jism (hayula), form (shurat) yang hanya menghabiskan usia dan tidak sampainya manusia kepada kebahagiaan dan ketenangan.[36] Dalam kisah ini, disebutkan bahwa Yudzasif merupakan salah satu nabi-nabi Ilahi.[37]
Terdapat bukti-bukti bahwa "Yudzasif" adalah orang yang disebutkan dalam hadis adalah Budha dalam ajaran Budha. Di sini kita akan menyebutkan dua dalil saja: 1). Bukti bahasa. 2). Bentuk tulisan. Nama-nama khusus Persia memiliki model yang lain dalam bahasa Arab. Sebagaimana kebanyakan bahkan seluruh huruf "pa" dalam bahasa Persia berubah menjadi "fa" atau "ba" dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab menyebut "Pars" menjadi "Fars" dan Pahlevi menjadi "Fahlevi atau perubahan yang lebih banyak seperti "Pardis" menjadi "Firdaus." "Dal" yang pada masa lalu seperti "dza" dalam bahasa Arab yang pengucapannya lebih dekat kepada "Za" ditulis dengan huruf "Dzal" atau "Zaa," sebagaimana "Yudasif" ditulis menjadi "Yuzasif" dan "Buzurghmehr" ditulis menjadi "Budzarjamahr." Pada hakikatnya, nama-nama khusus senantisa mengalami perubahan, pergantian dan perbedaan bacaan sepanjang perjalanan sejarah. Lagi bukti lainnya dalam pembahasan ini dimana pada bahasa Ma'qul "Budhai Syakmunes" disebut sebagai "Burkamal Cakyamunes."

Bukti kedua: Terdapat kemiripan yang sangat dekat antara kehidupan Budha dan kisah Yudzasif.[38] Sebagian kemiripan-kemiripan ini dua kisah ini menjelaskan:

1. Tempat kelahiran (India) dan berasal dari kaum ningrat.[39]

2. Nubuat (prediksi) ahli perbintangan tentang kepemimpinan dan kenabiannya.[40]

3. Penegasan Budha dan Yudzasif atas fananya dunia dan sifatnya yang sementara (transient). Dengan memperhatikan dalil kedua atas pandangan yang telah disampaikan maka jawaban dari pertanyaan yang diajukan di atas menjadi jelas.

Akhir kata, kembali kami menegaskan ucapan pertama bahwa hasil dari dua dalil yang disebutkan menegaskan bahwa ajaran Budha kuno merupakan ajaran tauhid. Sebagaimana disebutkan bahwa ajaran Budha sebagiamana ajaran Zoroaster dan Kristen yang mengambil jarak menganga dari ajaran-ajaran asli para nabi mereka dan terjerembab pada kubangan penyimpangan. []

------
[1]. Jalaluddin Asytiyani, 'Irfân-e Budhism, hal. 77.

[2]. Ibid, hal. 364

[3]. 'Irfan Budhism wa Janism, hal. 226. Silahkan lihat, Islam Syinasi Din Tathbiqi, Manucher Khudayar Muhibbi, hal. 160; Will Durant, Tarikh-e Tamaddan, Ahmad Aram, jil. 1, hal. 497.

[4]. (Qs. Al-Isra [17]:85)

[5]. John Binass, Târikh-e Jâm'e Adyân, Hikmat, 'Ali Asghar, hal. 188.

[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 122-124; Muhammadi Rei Syahri, Mizan al-Hikmah, jil. 2, hal. 66, Maktab A'lam al-Islami.

[7]. Amir Husain Ranjbar, Dar Jastejuye Riseye-hai Asemani, jil. 1, hal. 42.

[8]. Ibid, hal. 155.

[9]. Tarikh-e Jame' Adyan, hal. 184; Sayid Hasan Amin, Bâztab Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 24.

[10]. Fanai, Sayid Abuthalib, Ibrahimiyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 57.

[11]. Ibid, hal. 58.

[12]. Ibid, hal. 60.

[13]. Ibid.

[14]. Târikh-e Jahân-e Bâstan, Mu'mini, Muhammad Baqir, Ansari, Muhammad Shadiq, Hamadani, 'Ali, jil. 1, hal. 381.

[15]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 60.

[16]. Ibid, hal. 58.

[17]. Al-Tauhid, Syaikh Shaduq, Sayid Hasyim Husaini Tehrani, hal. 454-458.

[18]. Dar Jastejuy-e Risye-hâye Âsemân, hal. 154.

[19]. Ibid, hal. 155.

[20]. Ibid.

[21]. Irfân, Budhism wa Janism, hal. 77, 90, dan 107.

[22]. Baztab Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 36. Dar Jastejuy-e Risye-hâye Âsemân, hal. 155. Din Syinasi Tathbiqi, hal. 54-58-60, dalam riwayat-riwayat Islam, dunia diperkenalkan sebagai fana dan sementara. Silahkan lihat, al-Tauhid, hal. 376-378.

[23]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 58-60; Irfân, Budhism wa Janism, hal. 235.

[24]. Al-Tauhid, hal. 376-378.

[25]. Ibid.

[26]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 60-62.

[27]. Irfân, Budhism wa Janism, hal. 296.

[28]. Târikh-e Jame' Adyan, hal. 188-191.

[29]. Silahkan lihat, Hikmat, 'Ali Asghar, Nuh Guftâr dar Târikh Adyân, hal. 77; Târikh-e Jahân-e Bâstan, hal. 381. Târikh Jâm'e Adyân, hal. 188-191. Ali Akbar Kasmai, Khudâ Bâwari dar Din wa Falsafeh.

[30]. Din Syinâsi Tathbiqi, hal. 57-58. Abdullah Muballighi Abadi, Târikh Adyan wa Madzâhib Jahân, jil. 1, Dar Jastejuye Risye-hâ-ye Âsemân, hal. 42.

[31].'Irfân Budhism Janism, hal. 299.

[32]. Ibid, hal. 77.

[33]. Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din wa Tamâm al-Ni'ma, Ali Akbar Ghaffari, hal. 577-638.

[34]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 383-485.

[35]. Allamah Majlisi, 'Ain al-Hayât, hal. 315-387.

[36]. Ibid, hal. 386.

[37]. Ibid, hal. 381 dan 384.

[38]. Baztâb Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 44-81.

[39]. 'Ain al-Hayât, hal. 322. Hasyim Radhi, Adyân-e Buzurgh-e Jahân, hal. 178.

[40]. 'Ain al-Hayât, hal. 322, Adyân-e Buzurgh-e Jahân, hal. 188.

http://indonesia.islamquest.net/QuestionArchive/6295.aspx

------